Irvine Talenta Hasian Sitompul
Kamis, 19 Juni 2014
Kepribadian Dollard-Miller
A. JOHN DOLLARD (1900-1980)
Lahir di Menasha, Wisconsin, pada tanggal 29 Agustus 1900 John Dollard menerima gelar sarjana di University Wisconsin tahun 1922. Dari tahun 1926 sampaide¬ngan 1929 la menjadi salah seorang pem¬bantu Rektor Universitas Chicago.Kemudian mendapat gelar M.A pada tahun 1930, dan meraih gelar Ph.D di bidang Sosiologi tahun 1931. Dollard menghabiskan banyak waktunya di German sebagai anggota Dewan Peneliti Ilmu Sosial dalam Psikologi Sosial. Selama setahun berada di luar negeri, beliau mendalami psikoanalisis bersama Hanns Sachs pengikut Freud, dan pernah menempuh pendidikan psikoanalisis di Berlin Institute. Setelah kembali ke daerah asalnya, Dollard mendapat posisi sebaga istaf di Yale University kemudian di Institute Human Relations yang baru saja didirikan sebagai lembaga interdisipliner “yang didirikan untuk membawa peneliti terkemuka di bidang antropologi, sosiologi, psikologi, danpsikiatri” ( Miller 1982, p.587). Karya pertama dollar (1937) berjudul Castel and and class in a Souuthern town. menjadi contoh karya awal analisis kebudayaan dan kepribadian. Singkatnya, setelah beliau tiba di Yale, Dollard bertemu Neal Miller, yang sedang menjalani pendidikan untuk mendapatkan gelar Ph.D nya dengan Clark Hull. Mereka pertama kalinya bergabung bersama Leonard Doob, O. Hobart Mowrerdan Robert Sears dan lainnya, karangan ilmiahnya yang terkenal adalah Frustration and Agression (1939), sebagai dasar perumusan untuk terus berkembang, untuk suatu gelar dari studi yang dilakukan Dollard tahun 1937. Dollard dan Miller bekerja sama dalam dua buku yaitu Social Learning Imitation (1941) dan Personality and Psycoteraphy (1950) dan bekerja sama dalam suatu studi dan project lainnya. Karya ini disusul oleh sebuah buku serupa bersama Frank Auld dan Alice White ia menerbitkan Steps in Psychotherapy (1953), sebuah buku yang menyajikan suatu metode psikoterapi yang mencakup pendes¬kripsian yang rinci tentang individu yang sedang dalam pera¬watan, dan juga menerbitkan Scoring human Motives (1959). Sepanjang karir profesionalnya, Dollard tetap memiliki perhatian lebih terhadap ilmu sosial. Kemampuannya dalam menggabungkan berbagaimacam disiplin ilmu ke dalam kehidupannya dan terutama sekali ke dalam pekerjaannya. John Dollard dan Miller kembali bekerja sama dalam penulisan buku Social Learning and Imitation (1941) dan Personality and Psychotherapy (1950) Menurut Miller, John Dollard adalah salah satu psikoterapis yang pertama kali merekam wawancara psikoterapis. Beliau meninggal pada tahun 1980.
B.Neal Elgar Miller ( 1909- )
Neal Miller lahir di Milwaukee, Winconcin, , padatanggal 3 Agustus 1909 dan di besarkan di Bellingham Washington, yang mana ayahnya juga seorang Psikolog, kepala di Department of Education and Psychology of Western Washington State Teachers Collage. Setelah menerima gelar sarjana tahun 1931 di University of Washington, Neal Miller studiuntukgelar M.A (1932) di Stanford University dan untuk Ph.Dnya tahun 1935 di Yale University. Dari tahun 1932 sampai dengan tahun 1935 Miller menjabat sebagai asisten di bidang psikologi di Institute of Human Relations. Kemudian bertemu dan mulai bergabung dengan John Dollard di institute tersebut. Tahun 1935 Miller melakukan perjalanan ke Eropa sebagai Dewan Persatuan Social Science Research. Ketika di Vienna, beliau menjalani pendidikan Psikoanalisis selama 8 bulan dengan Heinz Hartmann di Vienna Institute of Psychoanalysis. Tahun 1936 Miller kembali ke kotanya, dan bergabung di salah satu fakultas di Yale Institute Human Relations, bergabung hingga tahun 1966, kemudian mendapat tawaran untuk mendirikan dan sekaligus sebagai kepalala boratorium Fisiologis Psikologis di Rockefeller University. Saat itu, miller yang seorang pensiunan professor di Rockefeller University, beliau melanjutkan menulis dan memperbaiki tingkat level produktivitas penelitiannya. Miller danistrinya, Marion E. Edwards, tinggal di kota New York danmemiliki 2 orang anak, Sara dan York. Miller jugamenerimaAmerican Psychology Foundation Gold Medal di tahun 1975. Miller menekankan penelitian yang menekankan pada pengobatan biofeedback dan behavioral. Beliau terutama sekali tertarik pada stress dan pembelajaran visceral.
STRUKTUR KEPRIBADIAN
Habit ataupun kebiasaan merupakan satu-satunya elemen yang memiliki karakteristik structural yang ada dalam teori Dollard dan Miller. Habit, merupakan asosiasi atau hubungan antara stimulus dan respon, yang relatif stabil dan berlangsung lama dalam kepribadian. Walaupun kepribadian terbentuk oleh adanya kebiasaan-kebiasaan, namun bentuk dari kebiasaan-kebiasaan itu akan tergantung pada kejadian-kejadian unik yang dialami seseorang tersebut.
Kebiasaan seseorang hari ini bisa berubah sebagai akibat dari pengalaman yang dialami seseorang tersebut pada esok hari. Dollard dan Miller lebih menaruh perhatian memahami proses pembelajaran dan perkembangan kepribadian bukan pada kemahirannya. Mereka mencatat, bahwa segolongan kebiasaan-kebiasaan yang penting bagi manusia dihasilkan oleh stimulus-stimulus verbal atau kata-kata, yang merupakan stimulus yg datang dari seseorang itu sendiri maupun oleh orang lain dan respon-respon yang diberikan juga seringkali bersifat verbal.
Selain habit ataupun kebiasaan Dollard dan Miller juga mempertimbangkan dorongan sekunder (secondary drives) sebagai aspek dari kepribadian yang relative stabil , sperti rasa takut sebagai bagian kepribadian yang relative stabil. Dorongan-dorongan primer (Primary drives) dan hubungan S-R juga berkontribusi dalam struktur kepribadian. Namun umumnya dorongan primer tidak terlalu signifikan berkontribusi dibandingkan dengan kebiasaan dan dorongan sekunder, dorongan primer juga bukan struktur yang menentukan keunikan inidvidu malah sebaliknya dorongan primer yang menentukan sifat-sifat yang sama-sama dimiliki oleh semua individu ataupun taraf umum seseorang.
DINAMIKA KEPRIBADIAN
Dollard-Miller sangat menaruh perhatian pada motif, atau dorongan, dan tidak tertarik pada penjabaran atau pengklassifikasian motif-motif tertentu. Mereka fokus pada motif-motif yang menonjol, seperti kecemasan, dan menganalisa perkembangan dan perluasannya. Mereka berusaha mengilustrasikan proses umum yang berlaku pada semua motif.
Dollard-Miller menjelaskan bahwa tidak hanya dorongan sekunder yang bisa menggantikan dorongan primer, tetapi reward sekunder juga dapat menggantikan reward primer. Contohnya senyuman seorang ibu dapat menjadi reward sekunder bagi si bayi karena terus menerus diasosiasikan dengan pemberian makan, popok dan sebagainya. Reward sekunder dapat memperkuat tingkah laku dimana kapasitasnya tidak terbatas, kecuali jika reward sekunder terjadi bersamaan dengan penguat primer.
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
1. Innate Equipment : Simple Response and Primary Drive
Bayi memiliki sedikit refleks khusus, yang kebanyakan respon khusus untuk stimulus yang spesifik. Contoh: ketika kita memegang pipi bayi, biasanya akan memalingkan kepalanya kearah rangsangan. Respon ini disebut sebagai rooting refleks.
Bayi juga memiliki innate hierarchies of response, atau kecenderungan munculnya beberapa respon terhadap situasi stimulasi tertentu sebelum beberapa respon lainnya muncul. Contoh bayi cenderung menghindar dari stimulus yang tidak menyenangkan sebelum dia menangis.
Bayi juga memiliki seperangkat primary drives, atau stimuli internal yang kuat dan menetap, yang biasanya dihubungkan dengan proses fisiologi. Drives ini contohnya lapar, haus, dan sakit memotivasi organisme untuk bereaksi tetapi tidak untuk menentukan reaksi khusus apa yang akan muncul.
2. A Model for Development : Secondary Drive and The Learning Process
Eksperimen ini mengilustrasikan bagaimana dorongan skunder terhadap rasa takut atau rasa cemas dipelajari. Eksperimen Dollard dan Miller juga memperlihatkan cara kerja empat komponen dasar dari proses belajar seperti: Drive, Cue, Response, dan reinforcement.
3. Clasical Conditiong of a Fear Response
Seperti yang dijelaskan diawal, beberapa jenis belajar telah terjadi. Pertama, lewat classical conditioning, tikus telah belajar untuk takut terhadap buzzer. Inisial neutral buzzer dipasangkan dengan unconditioned stimulus (US) yaitu kejutan, yang biasanya mendatangkan pola kepribadian yang khas yang disebut unconditioned response (UR). Setelah neutral buzzer dihadirkan dengan US dalam beberapa waktu, neutral stimulus mendatangkan respon yang didatangkan oleh US. Neutral stimulus tersebut disebut conditioned response (CR). Tikus pada akhirnya memberikan respon sebagai antisipasi rasa sakit atau takut (CR) walaupun suara buzzer (CS) tidak diikuti dengan electric shock.
Dalam peristilahan Dollard-miller serta Hull, kebiasaan merupakan hubungan antara stimulus (buzzer) dan respon ( Remot) yang telah tersusun tidak dapat terputus lagi. Dalam teori Hull, agar kebiasaan itu tersusun, bukan saja stimulus dan respon saja yang harus dekat satu sama lain dalam ruang dan waktu, tetapi respon harus diiringi dengan reinforcement atau reward. Apabila kondisi seperti ini terjadi, semakin sering stimulus dan respon muncul bersamaan, maka kebiasaan yang muncul akan semakin kuat.
4. Learning and Extinction of Instrumental Behavior
Ada empat unsur konseptual yang penting dalam hal belajar, yang dikemukakan oleh Dollard dan Miller, yaitu:
Drive. Drive adalah stimulus yang kuat yang mendorong tindakan tetapi tidak menentukan sifat tindakan itu. Kekuatan dari drive tergantung pada intensitas rangsangan yang ada. Semakin kuat drive, perilaku yang lebih kuat akan terus dihasilkan. Secondary drive (dipelajari), merupakan drive yang diperoleh dari primary drive (utama). Kekuatan secondary drive tergantung pada intensitas dari drive primer yang di dasarkan dari perolehan sejumlah reinforcement.
Cue.Cue merupakan stimulus yang bergantung kapada respon yang muncul secara alami.
Response. Response merupakan suatu perilaku sederhana didalam hubungan manusia. Menurut Dollard- Miller, sebelum respon dihubungkan dengan stimulus, maka respon itu harus muncul terlebih dahulu.
Reinforcement. Agar proses belajar berlangsung, Dollard dan Miller mengatakan reinforcement (hadiah) harus terjadi, dan merupakan defenisi yang paling baik sebagai pengurangan drive. Eksperimen secara khusus membuktikan bahwa peristiwa yang mengikuti respon adalah sangat penting terhadap hubungan stimulus dan rangsangan.
Extinction. Merupakan hilangnya respon ketika respon tersebut tidak diberi penguat (reinforce). Fungsi dari extinction adalah untuk menghilangkan respon yang gagal sehingga respon yang lain dapat dimunculkan.
Generalization. Stimulus generalization, adalah proses dimana respon yang datang diperkuat harus dibuat untuk rangsangan selain stimulus untuk respon yang awalnya dibuat.
5. Higher Mental Processes
Menurut Miller, interaksi individu dengan lingkungannya ada dua variasi,yang pertama ialah interaksi yang mengalami efek langsung pada lingkungan dan dituntun oleh isyarat yang terdapat dalam suatu situasi. Contohnya kita akan otomatis menginjak rem ketika melihat seorang anak tiba-tiba berjalan ketengah jalan. Tipe yang kedua mencakup cue-producing responses yang biasanya akan memberi petunjuk pada respon lainnya. Sebagai contoh ketika kita melihat sebuah toko, mengingat sesuatu yang kita butuhkan, berpikir apakah kita memiliki cukup uang, pergi ke toko tersebut.
Konteks Sosial
Kemampuan untuk menggunakan bahasa dan respon-isyarat yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh konteks sosial di mana orang tersebut berkembang. Banyak dari interaksi anak dengan lingkungannya berkaitan dengan bagaimana cara untuk menghasilkan petunjuk verbal, atau simbol verbal komunikasi, serta dengan cara memahami isyarat tersebut ketika mereka diproduksi oleh orang lain. Bahasa adalah produk sosial, dan jika proses bahasa adalah penting, lingkungan sosial juga harus signifikansi dalam pengembangan kepribadian.
Miller dan Dollard (1941) menekankan saling ketergantungan dari pola perilaku dan sosial budaya. Mereka menunjukkan bahwa tidak hanya psikolog memberikan prinsip-prinsip pembelajaran yang membantu ilmuwan sosial untuk menjelaskan secara sistematis untuk acara-acara budaya yang penting, tetapi ilmuwan sosial membantu teori belajar sesuai prinsip-prinsip ini dengan pengalaman manusia yang sebenarnya yang merupakan kondisi belajar. Kedua prinsip dan kondisi sangat penting untuk pemahaman pembangunan manusia.
Miller dan Dollard menyiratkan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran berlaku di seluruh budaya. Pada saat yang sama, mereka jelas percaya bahwa perilaku seseorang yang tepat sangat dipengaruhi oleh masyarakat atau anggotanya.
Situasi Kritis Pelatihan (Critical Training Situation)
Seperti teori psikoanalitik, Dollard dan Miller menganggap setengah tahun pertama kehidupan penting dalam menentukan perilaku orang dewasa. Sangat penting bagi mereka adalah ketidakberdayaan ekstrim dari bayi. Anak yang lebih tua dan dewasa merancang cara untuk keluar dari situasi sangat frustasi. Bayi, bagaimanapun, memiliki kemampuan yang sangat sedikit untuk memanipulasi lingkungan dan dengan demikian belas kasihan menggerakkan rangsangan mendorong dan frustasi luar biasa. Bayi belum belajar untuk berharap dan untuk menghibur dirinya sendiri, tetapi belum belajar untuk berpikir dan merencanakan dan dengan demikian untuk menghindari kesulitan saat itu dengan membangun masa depan. "Sebaliknya, anak mendesak, putus asa, hidup dengan saat-saat sakit dan kemudian tiba-tiba menemukan dirinya bermandikan kebahagiaan tak berujung. Ini adalah situasi penuh gejolak di mana konflik mental yang parah sadar dapat dibuat”.
Menurut Dollard dan Miller, penyesuaian bayi terhadap stimulus rasa lapar akan menjadi model terhadap penyesuaian orang dewasa mereduksi dorongan yang lain nantinya. Apabila anak menangis saat lapar, lalu ia diberi makan, maka dalam hal ini anak tahu bahwa ia mulai memanipulasi lingkungannya secara aktif. Dan sebaliknya bila si anak dibiarkan menangis ia akan bereaksi pasif terhadap stimulus yang kuat. Selanjutnya, jika stimulus-stimulus rasa lapar dibiarkan terus meningkat tanpa ada batas , maka mungkin anak akan mengasosiasikan stimulus-stimulus rasa lapar ringan dengan stimulus-stimulus kuat dan sangat menyakitkan begitu banyak kesempatan yang kemudian dialaminya dan dengan cara demikian ia bisa menjadi bereaksi secara berlebihan terhadap stimulus-stimulus dorongan yang ringan.
Dollard dan Miller percaya bahwa situasi pemberian makan sangat mempengaruhi hubungan interpersonal dimasa yang akan datang. Jika pada pengalaman hubungan yang pertama ditandai dengan direduksikannya dorongan, maka anak akan mengasosiasikan keadaan yang menyenangkan ini dengan kehadiran ibunya (atau ayah atau orang lain yang memberi perhatian). Dan dengan generalisasi, keadaan menyenangkan ini juga dikaitkan dengan orang lain, sehingga kehadiran mereka menjadi tujuan atau hadiah sekunder. Tetapi jika pemberian makan ditandai dengan rasa marah dan sakit, maka anak mungkin belajar untuk menghindari interaksi sosial.
Harry Harlow yang terkenal dengan penelitian mengenai anak kera pada akhir 50-an menganalisis pendapat Dollard dan Miller. Harlow berpendapat bahwa dalam perkembangan hubungan ibu-anak, kontak badaniah lebih penting daripada pemberian makanan. Namun Dollard dan Miller agaknya telah melebih-lebihkan pentingnya reduksi rasa lapar dan haus dan menganggap remeh peranan ayunan, belaian, dan gendongan ibu terhadap bayinya saat memberi makan.
Proses Ketidaksadaran (Unconscious Processes)
Teori Dollard dan Miller sangat konsisten dengan rumusan psikoanalitik dalam hal mengakui pentingnya faktor-faktor ketidaksadaran, namun ada perbedaan dengan teori yang dicetuskan Freud dalam hal perhitungan faktor-faktornya. Dollard dan Miller membagi ketidaksadaran menjadi apa yang tidak pernah disadari dengan apa yang pernah disadari namun tidak bertahan lama. Kategori pertama meliputi rangsangan (stimuli), perangsang/dorongan (drives), dan respon yang mana sudah dipelajari sejak bayi sebelum mereka mampu berbicara. Dalam kategori ini, termasuk juga apa yang orang dapat pelajari secara nonverbal seperti kemampuan motorik. Kategori kedua terdiri dari isyarat – isyarat dan respon yang pada awalnya sadar, namun lewat represi, hal tersebut hilang dari kesadaran.
Kita belajar untuk merepresi atau menghindari beberapa dugaan, sebagaimana kita mempelajari respon lainnya. ‘Tidak berpikir” mengenai suatu hal yang menakutkan dapat membantu kita untuk mengurangi ketakutan, represi ini menjadi bagian standar dari kepura-puraan kita. Pada mulanya, kita memikirkan hal yang menakutkan, mengalami ketakutan, menyerah pada pikiran kita, dengan demikian menghilangkan rasa takut dan juga memperkuat represi. Pada akhirnya, respon dari “tidak berpikir” menjadi antisipatori. Represi juga dapat mencegah hilangnya pikiran yang membangkitkan rasa takut, karena mencegah rasa takut itu datang kembali. Jika respon yang dipelajari tidak muncul, dan tidak ada tindakan yang memperkuat yang terjadi, maka respon tersebut tidak dapat dimusnahkan.
Kecenderungan untuk melakukan represi sudah terjadi di masa anak – anak. Anak – anak sering dihukum jika melakukan sesuatu yang dilarang oleh orangtuanya. Anak-anak ini biasanya dihukum karena orang tua takut mereka akan menjadi pemberontak. Pengalaman tersebut dapat membuat seorang anak menarik kesimpulan dari perbuatan yang dilakukannya dan diberi hukuman oleh orangtuanya menjadi sebuah ingatan terhadap perbuatan tersebut dan selanjutnya merepresi pikiran tersebut. Namun, seorang anak juga belajar bahwa boleh saja berpikir tentang hal-hal tertentu meskipun hal tersebut tidak benar jika dilakukan.
A Model of Conflict
Menurut Dollard dan Miller, konflik menyebabkan seseorang mencegah memberikan respon, biasanya respon ini akan mengurangi Drives yang tinggi.
Dollard dan Miller membuat lima asumsi dasar tentang perilaku konflik. Yang pertama, kecendrungan seseorang untuk mendekati tujuan yang bersifat positif disebut Gradient of approach. Kedua, kecenderungan untuk menghindari stimulus negatif disebut Gradient of avoidance. Ketiga, Gradient of reinforcement yaitu dampak langsung yang kita terima terhadap sebuah reward atau punishment yang diberikan secara tiba-tiba lebih terasa daripada reward atau punishment yang diberikan secara berkala. Keempat, Stimulus generalization yaitu semakin mirip stimulus yang diterima maka akan semakin mirip pula respon yang akan ditampakkan.
Approach-Avoidance Conflict
Bill adalah seorang manager yang tertarik kepada seorang wanita teman sekantornya. Wanita ini bernama Susan. Susan adalah sosok yang menarik dan sempurna sehingga pada awalnya kecendrungan Bill untuk mendekati atau malahan menghindari Susan sama. Selanjutnya Bill memberanikan diri untuk mengajak Susan kencan namun ketika dia mendatangi Susan di ruangan nya dia melihat wanita itu sedang rapat dengan koleganya dengan bersemangat dan rasa takut Bill pun mucul dan dia memutuskan untuk pergi. Hingga sesuatu terjadi dan dapat membuat salah satu kecendrungan Bill berkurang atau bertambah besar. Ruangan Susan dipindahkan kesebelah ruangan Bill dan karena mereka mulai berinteraksi dan menunjukkan ketertarikan maka level kecenderungan untuk mendekat pada diri Bill meningkat. Rasa takut dan hasratnya nya berada pada posisi seimbang.
Suatu hari mereka berdua ditempatkan pada proyek yang sama dan Bill berpikir bahwa susan adalah partner yang baik dan terkadang meminta pendapatnya tentang suatu masalah. Hal ini membuat kecendrungan untuk menghindar pada diri Bill berkurang dan kecenderungan untuk mendekat meningkat.
Avoidance-Avoidance Conflict
Jessie sebenarnya takut memanjat namun dia juga tidak suka apabila dipanggil pecundang, maka ia mulai dengan mencoba memanjat pohon. Karena Jessie ketakutan maka dia terpeleset dan ditertawakan oleh temannya dan dipanggil “ayam”. Hal ini membuat perasaan Jessie untuk menghindari ejekan sebagai pecundang semakin besar. Jika saja Jessi mencoba untuk memanjat kembali dan dia terjatuh kembali maka mau tidak mau Jessi harus menerima ejekan sebagai penyundang.
Approach-Approach Conflict
Dollard dan Miller berpendapat bahwa kompetisi diantara dua respon approach atau pendekatan tidak benar-benar sebuah dilema. Hanya perlu menyeimbangkan kedua tujuan akhir agar dapat mengarahkan diri kita ke salah satu tujuan akhir tersebut.
Misalnya, seorang pria bernama charlie pergi ke sebuah taman hiburan dengan uang pas-pasan dan ia ingin naik rolercoster . namun saat mengantri tiket , tiba-tiba ia tertarik ingin mencoba naik parasut. Charlie bisa saja meminta uang tambahan kepada orang tuanya namun sebelum ia melakukan itu dia akan menentukan pilihan terlebih dahulu. Ingin berteriak senang dengan menaiki rolercoster atau parasut. Tetapi karena teriakan seru yang dibayangkan dengan menaiki rolercoster maka ini akan membuat Charlie berjalan selangkah lebih maju kesalahsatu tujuan akhir yaitu rolercoster.
Neurotic Personality Development
Ketertarikan Dollard dan Miller pada psikoanalisa membuat mereka memberikan perhatian khusus pada perkembangan neurosis dan metode psikoterapi. Sama halnya seperti teorist lainnya mereka juga berpendapat bahwa perilaku neurotik itu ada pada setiap orang dan berkelanjutan bukan sesuatu yang dibeda-bedakan.
How Neuroses are Learned
Sumber dari setiap neurosis adalah konflik alam bawah sadar yang kuat dan hampir selalu berasal dari masa kanak-kanak. Anak-anak ini mengembangkan rasa cemas yang berlebihan dan perasaan bersalah sebagai ekspresi basic needs atau kebutuhan dasar yang nantinya akan berlanjut hingga dewasa.
Psikoterapi
Beberapa perbedaan terminologis ,Dollard dan Miller mengusulkan kondisi terapi konvensional dan prosedur : seorang terapis simpatik dan permisif mendorong pasien untuk asosiasi bebas dan mengeksperesikan perasaan. Terapis kemudian mencoba untuk membantu pasien memahami perasaannya dan bagaimana mereka mengembangkan .
Dollard dan miller menyarankan, kecemasan dan rasa bersalah belum padam karena orang tersebut telah mengembangkan teknik untuk menghindari segala sesuatu yang membangkitkan emosi-emosi tersebut. Sehingga terapis mencoba untuk mengatur kondisi yang akan menyebabkan kepunahan emosi merepotkan. Orang didorong untuk mengungkapkan pikiran ,emosi dilarang , mengalami rasa takut dan membangkitkan rasa bersalah mereka. Dalam situasi terapi, konsekuensi dikhawatirkan tidak terjadi. Sehingga rasa takut berkurang dan represi tidak perlu dilakukan. tanpa penguat, takut secara bertahap memadamkan.
Penelitian Karakteristik (Characteristic Research)
Miller,Dollard dan mahasiswa mereka telah melakukan sejumlah besar penelitian empiris, kita akan memeriksa dua jenis penyelidikan. yang pertama mengeksplorasi konsep psikoanalisis perpindahan, menghubungkannya dengan fenomena generalisasi stimulus. Yang kedua mewakili fokus saat Miller perhatian, mengeksplorasi basis fisiologis pembelajaran.
Studies of Displacement
Pemindahan adalah pengalihan impuls yang satu dicegah baik oleh peristiwa eksternal atau oleh diri – ditetapkan struktur - dari mengekspresikan diri. Pemindahan dapat beroperasi sebagai pembelaan : seseorang mungkin takut untuk mengekspresikan kemarahan ,meredam , atau menekan emosi dan mengekspresikan dalam situasi berbeda.
Dalam apa yang dianggap sebagai bentuk adaptif dari perpindahan-kadang disebut sublimasi-energi yang tidak dapat diperluas dalam bentuk aslinya mereka kembali disalurkan. Seorang pria yang tanpa hubungan seksual atau yang memilih untuk melupakan seseorang dapat menggantikan energi seksual ke dalam drive untuk pencapaian kreatif, berkonsentrasi pada lukisannya atau membangun bisnis elektroniknya. Di sini energi untuk satu drive mengungsi ke drive lain, dalam tipe pertama pemindahan, energi dari drive yang sama diarahkan ke objek yang berbeda.
Para peneliti menemukan bahwa anak laki-laki menyatakan sikap secara signifikan lebih negatif terhadap minoritas setelah mereka mengetahui tentang cara mereka telah kehilangan daripada yang mereka lakukan sebelumnya. Dalam hal psikoanalitik, para peneliti menafsirkan ini kenaikan jelas dalam permusuhan terhadap kelompok minoritas sebagai perpindahan dari kemarahan anak laki-laki pada peneliti untuk menjaga mereka dari acara tersebut. Dalam hal SR, anak-anak itu generalisasi respon dari satu objek stimulus (orang asing-para peneliti yang frustrasi mereka) yang lain, stimulus yang sama (orang asing-anggota kelompok minoritas).
Autonomic Nervous System Learning (Pembelajaran Sistem Saraf Otonom)
Anda akan ingat bahwa Dollard dan miller melihat mrs. A gejala neurotik tanggapan dipelajari, atau kebiasaan, bahwa melalui psikoterapi, bisa "terpelajar". ada gejala lain, umum dalam perilaku neurotik, yang somatik di alam, misalnya, detak jantung yang cepat. Untuk beberapa waktu, miller dan Dollard menerima pandangan lama terjadinya tanda psychophysiological, atau psikosomatik.
Temuan dan lain-lain mengangkat sejumlah kemungkinan menarik. Pertama, miller (1969) menyarankan, mungkin bahwa kita belajar symtomps psychophysiological seperti kita belajar jenis lain symtomps. Dan jika memang demikian, teknik condititoning mungkin instrumental dapat digunakan untuk mengurangi intensitas symtomps seperti tekanan darah tinggi, apakah symtomps seperti itu disebabkan oleh faktor psikologis atau fisiologis.
Penelitian tentang biofeedback oleh peneliti lain telah menunjukkan bahwa beberapa orang sebenarnya bisa belajar untuk mengendalikan hati mereka dan proses otonom lainnya. Namun, penelitian tersebut belum menunjukkan secara definitif bahwa prosedur dapat digunakan berhasil dengan semua orang.
EVALUATION
Sejak tahun 1940-an, beberapa generasi psikolog telah melakukan banyak penelitian empiris menerapkan prinsip S-R (stimulus and response) belajar perilaku manusia. Ini judul teori kepribadian didukung oleh penganut kelompok yang sangat kuat yang aktif peduli dengan memperluas dan memodifikasi konsep-konsep yang telah kita bahas.
Teori Miller dan Dollard dan penelitian, khususnya, memiliki sejumlah keuntungan. Pertama, konsep utama jelas diuraikan dan lazim dikaitkan dengan kelas tertentu peristiwa empiris. Kedua, jarang menarik bagi formulasi vegue seperti intuisi, melainkan dibutuhkan cukup keras kepala, pendekatan positivis. Ketiga, meskipun pendekatan ini, S-R pembelajaran theoritists siap untuk merangkul berbagai fenomena empiris, mereka menunjukkan tidak ragu-ragu tentang maju pada fenomena perilaku yang sangat kompleks dengan alat konseptual mereka. Keempat, miller dan posisi Dollard secara khusus dan hati-hati merupakan proses belajar, pertimbangan penting bagi setiap teori kepribadian, Teori Miller dan Dollard dan penelitian, khususnya, memiliki sejumlah kebajikan. Pertama, konsep utama jelas diuraikan dan lazim dikaitkan dengan kelas tertentu peristiwa empiris. Kedua, jarang menarik bagi formulasi vegue seperti intuisi, melainkan dibutuhkan cukup keras kepala, pendekatan positivis. Ketiga, meskipun pendekatan ini, SR pembelajaran theoritists siap untuk merangkul berbagai fenomena empiris, mereka menunjukkan tidak ragu-ragu tentang maju pada fenomena perilaku yang sangat kompleks dengan alat konseptual mereka. Keempat, miller dan posisi Dollard secara khusus dan hati-hati merupakan proses belajar, pertimbangan penting bagi setiap teori kepribadian.
Teori S-R telah menjadi target utama bagi banyak psikolog yang yakin bahwa pemahaman yang memadai tentang perilaku manusia harus melibatkan lebih dari aplikasi budak dari metode eksperimental ilmu fisika. Investigatigators tersebut merasa bahwa meskipun posisi mereka sendiri mungkin tidak cukup beristirahat pada pengamatan terkontrol, mereka pengamatan setidaknya relevan dengan masalah yang mereka mengusulkan untuk belajar. Dalam nada yang terkait, para penentang teori SR mengatakan bahwa kecukupan resmi relatif teori SR adalah ilusi karena terletak pada penerapan prinsip-prinsip dalam lingkup yang sangat terbatas - baik untuk perilaku hewan atau domain sangat terbatas dari perilaku manusia.
Perkembangan Kognitif dan Moral Remaja
PERKEMBANGAN KOGNITIF
1. Aspek dari Kematangan Kognitif
Perkembangan kognitif remaja akan terus berlanjut.Remaja tidak hanya memiliki penampilan yang berbeda dengan anak-anak dibawah nya, tetapi juga memiliki cara berpikir yang berbeda.Walaupun mungkin itu belum terlalu matang, sudah banyak yang bisa untuk berpikir secara abstrak dan memiliki penilaian moral yang canggih serta dapat merencanakan masa depan dengan lebih realistis.
A. Tahap Operasional Formal dari Piaget
Menurut Piaget, remaja akan memasuki tingkat tertinggi dari perkembangan kognitif, yaitu formal operation. Dalam tingkat ini, remaja mengembangkan kemampuan untuk berpikir abstrak, biasa nya pada usia 11 tahun-an. Remaja bisa belajar aljabar maupun kalkulus, makna-makna dalam literatur-literatur, dapat membayangkan kemungkinan dan dapat menyusun serta menguji hipotesis. Remaja pada tingkat ini sudan bisa mengintegerasikan apa yang sudah mereka pelajari dengan rintangan yang akan mereka hadapi nanti di masa yang datang dan merencanakan masa depan. Pikiran pada tingkatini memiliki tingkat ke fleksibelan yang belum ada di tahap sebelumnya.
Hypothetical-Deductive Reasoning.
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara stage formal operation dengan tahap lainnya, dibuatlah percobaan dengan masalah Piagetian klasik, tentang
pendulum.
Sebuah pendulum diperlihatkan kepada anak bernama Adam. Kemudian diperlihatkan pula kepadanya bagaimana caranya dia dapat mengubah salah satu dari empat faktor: panjang tali, berat objek, ketinggian yang menjadi titik lepas objek, dan jumlah kekuatan yang dapat digunakannya untuk mendorong objek tersebut. Adam diminta untuk menemukan faktor mana atau kombinasi dari beberapa faktor yang mana yang menentukan seberapa cepat pendulum tersebut terayun.
Saat pertama kali Adam melihat pendulum tersebut, ia berusia 7 tahun dan berada dalam tahap operasional. Tidak mampu memformulasi rencana untuk memecahkan masalah tersebut, dia mencoba satu persatu dalam kerangka benar-atau-salah, Pertama-tama, dia meletakkan beban yang ringan di tali yang panjang lalu kemudian mendorongnya; kemudian dia mencoba beban yang berat di tali yang pendek; lalu dia mencopot seluruh berat tersebut. Metode ini bukan hanya acak, tetapi dia juga dapat memahami atau melaporkan apa yang terjadi.
Pertemuan Adam dengan pendulum berikutnya ketika ia berusia 10 tahun dan berada dalam tahap operasional konkret. Saat itu, perbedaan panjang tali dan berat beban akan memengaruhi kecepatan ayunan. Akan tetapi, karena ia meragamkan berbagai faktor dalam saat yang samam dia tidak dapat mengatakan mana yang penting atau memang kedua-duanya (berat dan panjang tali) sama pentingnya.
Adam kembali dihadapkan kepada pendulum di usia 15 tahun, dan kali ini dia menyelesaikan masalah tersebut secara sistematis. Dia mendesain eksperimen untuk menguji semua hipotesis yang mungkin, mengubah-ubah satu faktor dalam satu waktu. Pertama panjang tali, kemudian berat objek, titik di mana benda tersebut dilepaskan, dan terakhir jumlah tenaga yang digunakan. Tiap faktor tersebut dikombinasi dengan tiga faktor lainnya. Dengan cara seperti ini, dia dapat menentukan hanya satu faktor, yaitu panjang tali yang menentukan seberapa cepat pendulum berayun.
Solusi Adam terhadap masalah pendulum tersebut menunjukkan bahwa dia sudah mencapai tahap operasi formal. Dia sekarang mampu melakukan hypothetical-deductive reasoning. Dia dapat mengembangkan hipotesis dan mendesain eksperimen untuk membuktikannya. Hypothetical-deductive reasoning memberikan perangkat untuk memecahkan masalah.
Yang membuat perubahan dari tahap operasional konkret jadi operasi formal adalah adanya kombinasi kematangan otak dan perluasan peluang lingkungan. Walaupun perkembangan neurologis remaja telah cukup untuk melakukan penalaran formal, mereka hanya dapat mencapainya dengan stimulus yang tepat. Salah satu contohnya adalah melalui usaha kooperatif.
Kultur dan sekolah tampaknya memainkan peran dalam hal ini. Ketika para remaja di New Guinea dan Rwanda diuji dengan masalah pendulum, tidak seorang pun yang dapat memecahkannya. Di sisi lainm anak Cina di Hong Kong yang sebelumnya bersekolah ala Inggris, dapat memecahkan masalah tersebut paling tidak sama baiknya dengan anak Amerika Serikat dan Eropa. Anak usia sekolah di Jawa tengah dan New South Wales juga menunjukkan kemampuan operasional formal tertentu.
Evaluating Piaget's Theory.
Teori Piaget memberikan dampak yang luar biasa dalam bidang pendidikan. Teori tersebut memberikan patokan pada orang tua dan guru tentang apa yang harusnya mereka harapkan di setiap setiap tingkatan usia dan telah membantu para pendidik mendesain kurikulum yang cocok dengan tingkat perkembangan anak. Namun, dia gagal mempertimbangkan secara layak tahap-tahap pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang tertentu dan peran metakognisi, kesadaran, dan monitoring proses mental dan strategi seseorang.
Teori Piaget mungkin tidak terlalu memberikan penekanan yang cukup pada aspek kematangan kecerdasan seperti peran pengalaman dan intuisi serta kebijaksanaan yang membantu orang menghadapi dunia yang kacau ini.
B. Elkind: Karakteristik Pemikiran Remaja yang Belum Matang
Dalam beberapa aspek, pemikiran remaja terlihat kurang matang, seperti masih kasar kepada orang yang lebih tua. hal ini disebabkan cara berpikir mereka yang baru ini mengubah cara mereka melihat dirinya sendiri dan dunia. Mereka merasa janggal akan perubahan dirinya, aneh dengan dunia luar.
Menurut Elkind, pemikiran yang belum matang (immature characteristics) terwujud dalam enam cara, yaitu:
1. Idealism and criticalness. Para remaja sering merasa yakin bagaimana menjalankan dunia daripada orang dewasa, dan sering kali mereka mengkritik orang tua mereka sendiri. Padahal orang dewasa hidup lebih lama dan memiliki pengalaman yang lebih banyak.
2. Argumentativeness. Para remaja selalu mencari kesempatan untuk mencoba dan menunjukkan kemampuan berpikir mereka. Mereka cenderung menjadi argumentatif dalam menyusun fakta dan logika untuk sebuah kasus, misalnya bergadang. Orang tua akan berpikir kalau mereka tidak harus tidur telat, tetapi remaja akan terus membuat alasan agar diperbolehkan.
3. Indecisiveness. Para remaja bisa saja menyimpan banyak alternatif dalam pikiran pada waktu yang bersamaan, tetapi kurangnya strategi dalam memilih alternatif tersebut.
4. Apparent hypocrisy. Remaja sering kali tidak menyadari perbedaan antara cara mengekspresikan sesuatu yang ideal dengan pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan ekspresi tersebut.
5. Self-consciousness. Para remaja sekarang dapat berpikir tentang pemikiran, namun mereka sering kali berasumsi kalau apa yan dipikirkan orang lain sama dengan apa yang mereka pikirkan, yaitu diri mereka sendiri. Inilah yang menurut Elkind, imaginary audience, yaitu konsep yang ada hanya dalam pikiran remaja dan sangat peduli dengan pemikiran dan tindakan yang sedang dilakukan oleh remaja tersebut.
6. Specialness and invulnerability. Elkind menggunakan istilah personal fable untuk menunjukkan bahwa remaja itu spesial, memiliki pengalaman yang unikm dan tidak tunduk pada peraturan yang mengatur dunia.
C. Perubahan dalam Pemrosesan Informasi
Penelitian mengenai pemrosesan informasi telah mengidentifikasi dua kategori besar dalam perubahan yang dapat diukur pada kognisi remaja : perubahan struktural dan perubahan fungsional.
1.Perubahan struktural
Perubahan ini meliputi :
1. Perubahan dalam kapasitas pemrosesan informasi
2. Meningkatnya jumlah pengetahuan yang disimpan dalam long-term memory
Kapasitas dari working memory meningkat besar pada masa kanak-kanak awal,terus meningkat selama masa remaja.Perluasan working memory ini membuat para remaja yang lebih tua untuk mengatasi masalah yang kompleks dan mengambil keputusan yang melibatkan beberapa bagian informasi.
Informasi yang disimpan dalam long term memory dapat berjenis :
Declarative knowledge (“mengetahui bahwa...”) terdiri dari semua pengetahuan berupa fakta yang telah didapat oleh seseorang misalnya mengetahui bahwa 2 + 2 = 4
Procedural knowledge (“mengetahui bagaimana...”) terdiri dari semua keterampilan yang telah didapatkan oleh seseorang misalnya dapat mengendarai mobil
Conceptual knowledge (“mengetahui mengapa.....”) adalah pemahaman mengenai sesuatu misalnya mengapa persamaan aljabar tetap benar jika jumlah yang sama ditambahkan atau dikurangi didua sisi.
2.Perubahan fungsional
Proses mendapatkan , mengelola , dan menyimpan informasi adalah aspek fungsional dari kognisi . Diantaranya adalah belajar , mengingat , menalar , dan mengambil keputusan . Penalaran matematika , keruangan , dan ilmiah adalah beberapa dari proses fungsional yang biasanya meningkat selama masa remaja .
Remaja secara bertahap menjadi lebih baik dalam menarik kesimpulan,menjelaskan penalarannya,dan menguji hipotesis,terutama jika premisnya dikenal dan benar.Saat premis eksperimental merupakan kebalikan dari pengetahuan umum (“Semua gajah kecil.Ini adalah gajah.Apakah gajah ini kecil?”),kurang dari setengah dari remaja lebih besar atau orang dewasa yang dapat membuat deduksi logis yang tepat.
Akan tetapi,ketidakmatangan emosional dapat mengakibatkan remaja yang lebih tua membuat keputusan yang lebih buruk dibandingkan dengan remaja yang lebih muda.Hal ini dibuktikan dalam permainan Dua Puluh Pertanyaan dimana objek diminta untuk menjawab ya atau tidak atas beberapa pertanyaan guna mengetahui identitas seseorang,tempat,atau benda dengan mempersempit kategori dimana jawaban dapat ditemukan didalamnya.Efisiensi dimana orang-orang dapat melakukan hal ini biasanya membaik antara pertengahan masa kanak-kanak sampai masa remaja akhir.Akan tetapi dalam satu penelitian,siswa SMA terutama laki-laki,menunjukkan kecenderungan yang lebih besar dibandingkan remaja awal atau mahasiswa untuk menebak jawaban.Pola menebak seperti ini mencerminkan kecenderungan untuk memunculkan perilaku impulsif dan beresiko.Penilaian remaja yang terburu-buru mungkin berkaitan dengan perkembangan otak yang tidak matang yang dapat menyebabkan perasaan mengalahkan penalaran.
D. Perkembangan Bahasa
Saat usia 16 sampai 18 tahun,umumnya remaja mengenal sekitar 80.000 kata.Dengan datangnya pemikiran formal,remaja dapat mendefinisikan dan mendiskusikan hal-hal abstrak seperti cinta,keadilan,dan kebebasan.Mereka lebih sering menggunakan istilah yang menunjukkan hubungan sebab akibat seperti walaupun, sebaliknya, oleh karena itu dan sebagainya.Mereka menjadi lebih sadar bahwa kata-kata adalah simbol yang dapat memiliki arti ganda;mereka senang menggunakan ironi,humor,dan metafora.
Remaja juga lebih terampil dalam penyerapan perspektif sosial, kemampuan memahami sudut pandang orang lain dan tingkat pengetahuannya disertai dengan peningkatan kemampuan dalam berbicara.Remaja berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang dewasa.Dalam menciptakan ekspresi seperti “awesome” dan “geek”,remaja menggunakan kemampuan untuk bermain dengan kata-kata yang baru saja muncul “untuk mendefinisikan cara pandang unik generasi mereka dalam hal nilai,selera dan preferensi” (Elkind,1998 hal 29).
E. Penalaran Moral: Teori Kohlberg
Saat anak memasuki tahap kognitif yang lebih tinggi, mereka menjadi bisa melakukan penalaran terhadap lebih banyak masalah moral. Mereka cenderung mengalami peningkatan dalam aspek altruisme dan rasa empati. Dibandingkan dengan anak yang lebih muda, remaja lebih baik untuk memandang sesuatu dari perspektif orang lain, mengatasi masalah sosial, melakukan kesepakatan dalam hubungan interpersonal, dan untuk menyadari keberadaan mereka sebagai makhluk sosial. Semua kecenderungan tersebut mendorong perkembangan moral.
Kita akan membahas terobosan teori Lawrence Kohlberg mengenai penalaran moral pada pengaruh kerja Carol Gilligan dalam perkembangan moral pada wanita, dan penelitian terhadap perilaku prososial pada remaja.
Heinz’s Dilemma seorang wanita sedang sekarat karena kanker. Seorang apoteker telah menemukan obat yang diyakini dokter mampu menyelamatkannya. Apoteker menetapkan harga obat tersebut satu kemasan kecilnya adalah $2000—sepuluh kali lipat dari harga yang dibutuhkan untuk membuatnya. Suami wanita tersebut, Heinz, meminjam dari semua orang-orang yang dikenalnya namun yang berhasil terkumpul hanya $1000. Dia meminta kepada pembuat obat agar bersedia menjual obat tersebut seharga $1000 atau mengijinkannya membayar sisanya kemudian. Apoteker tersebut menolak dan berkata, “Saya menemukan obat tersebut dan saya harus mendapatkan uang darinya.” Heinz yang putus asa merusakkan toko apoteker tersebut dan mencuri obatnya. Haruskah Heinz melakukan hal tersebut? Mengapa dan mengapa jika tidak?
Kohlberg’s Level and Stages
Perkembangan moral pada Kohlberg memiliki beberapa kemiripan dengan teori Piaget, namun teori Kohlberg sedikit lebih kompleks. Berdasarkan proses pemikiran yang ditunjukkan oleh respon terhadap dilema Heinz, Kohlberg memaparkan tiga tingkat penalaran moral, yang masing-masing dibagi dalam 2 tahap:
• Tingkat I: Moralitas Prekonvensional (4-10 tahun)
Orang bertindak karena kontrol dari luar. Mereka mematuhi aturan untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah, atau mereka bertindak berdasarkan kepentingan pribadi.
Tahap 1: Orientasi terhadap hukuman dan hadiah. “Apa yang akan terjadi padaku?”
Anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman. Mereka tidak menghiraukan motivasi dalam sebuah tindakan dan fokus pada bentuk fisiknya (contohnya seberapa besar kebohongannya) dan konsekuensinya (contohnya, jumlah kerusakan fisik)
Tahap 2: Tujuan dan perubahan instrumental. “Jika kau mencakarku, aku akan kembali mencakarmu.” Anak menyesuaikan diri dengan aturan-aturan berdasarkan kepentingan pribadi dan keputusan mengenai apa yang dapat dilakukan oleh orang lain kepada mereka. Mereka memandang suatu tindakan karena manusia perlu memenuhi kebutuhannya dan membedakan nilai ini berdasarkan bentuk tindakan fisik dan konsekuensinya.
• Tingkat II: Moralitas Konvensional (10-13 tahun)
Orang telah menginternalisasikan standard dari tokoh yang berwenang. Mereka meresahkan tentang menjadi baik, menyenangkan orang lain, dan melakukan perintah sosial. Tingkat ini tipikalnya dicapai setelah umur 10 tahun; banyak orang tidak pernah melalui tahap ini, bahkan sewaktu dewasa.
Tahap 3: Memelihara hubungan mutual, persetujuan orang lain, golden rule. “Apakah saya adalah seorang laki-laki atau perempuan?” Anak ingin membantu dan menyenangkan orang lain, dapat menilai niat orang lain, dan mengembangkan ide mereka sendiri mengenai apa itu orang baik. Mereka mengevaluasi suatu tindakan berdasarkan motif melakukannya atau orang yang melakukannya, dan mereka juga memperhitungkan keadaan sekitar.
Tahap 4: Perhatian sosial dan hati nurani. “Bagaimana jika semua orang melakukannya?” Orang berpusat dengan kesibukan mereka, menunjukkan penghargaan pada sosok yang lebih tua, dan menjaga tindakan sosial. Mereka menetapkan suatu tindakan itu salah, tanpa melihat motif dan keadaan sekitar, jika itu melanggar aturan atau membahayakan orang lain.
• Tingkat III: Moralitas Postkonvensional (remaja awal, atau tidak sampai dewasa muda, atau tidak mengalami)
Orang menyadari konflik antara standard moral dan membuat penilaian sendiri didasarkan prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Orang umumnya tidak mencapai tahap ini sampai paling tidak mencapai remaja awal, atau umumnya pada dewasa muda, atau bahkan tidak pernah.
Tahap 5: Kontrak moralitas, hak-hak individu, dan hukum yang diterima secara demokratis. Orang berpikir dalam ranah logis, mempertimbangkan suara mayoritas dan ketenteraman sosial.
Tahap 6: Moralias prinsip etika universal. Orang melakukan apa yang dilakukannya sebagai individu adalah benar, tidak menghiraukan batasan resmi atau pendapat orang lain. Mereka bertindak berdasarkan standard yang terinternalisasi, mengetahui bahwa jika mereka harus menghukum diri sendiri ketika tidak mematuhinya.
Teori Kohlberg mengatakan bahwa penalaranlah yang mendasari respons seseorang terhadap dilema moral, bukan respon itu sendiri, hal tersebut mengindikasikan tahapan dari perkembangan moral.
Sebagian remaja dan bahkan orang dewasa tetap berada pada tingkat I perkembangan moral teori Kohlberg. Seperti anak kecil, mereka mencari cara untuk menghindari hukuman atau memuaskan kebutuhan mereka sendiri. Kebanyakan remaja dan orang dewasa tampaknya berada di tingkat II. Mereka mematuhi aturan sosial,mendukung status quo, dan “melakukan hal yang benar” untuk menyenangkan orang lain atau untuk mematuhi peraturan. Tahap 4 penalaran kurang umum namun meningkat dari remaja awal sampai dewasa muda.
Sebelum orang dapat mengembangkan moralitas dengan prinsip penuh (tingkat III,) Kohlberg berkata, mereka harus mengenali relativitas dari standar moral. Faktanya pada satu titik, Kohlberg mempertanyakan validitas dari tahapan 6, moralitas yang berdasarkan prinsip etnik universal, karena hanya sedikit sekali orang yang dapat mencapainya. Kemudian ia mengajukan tahapan “kosmik” ketujuh, dimana orang mempertimbangkan efek dari perilaku mereka tidak hanya terhadap orang lain tetapi bagi jagat raya secara keseluruhan.
Evaluating Kohlberg’s Theory
Kohlberg, didasari Piaget, mengesahkan suatu perubahan besar dalam penemuan mereka dalam cara kita melihat perkembangan moral. Dari pada melihat moralitas hanya sebagai pencapaian kontrol terhadap dorongan yang terus meningkat, para pengamat sekarang melihat bagaimana cara anak membuat penilaian moral berdasarkan peningkatan pemahaman mereka terhadap dunia sosial.
Penelitian awal telah mendukung teori Kohlberg. Anak lelaki Amerika yang diamati Kohlberg dan koleganya diikuti perkembangan kedewasaannya melalui urutan-urutan tahap perkembangan Kohlberg. Namun penelitian baru-baru ini menunjukkan keraguan terhadap penggambaran dari beberapa tahap Kohlberg, karena beberapa anak dapat berpendapat secara fleksibel mengenai beberapa isu mulai dari umur 6 tahun.
Salah satu alasan mengapa orang-orang mencapai tingkatan-tingkatan moral sangat bervariasi adalah bahwa orang yang sudah mencapai tingkat perkembangan perkembangan kognitif yang tinggi tidak selalu mencapai perkembangan moral yang sama tinggi. Mereka juga berpendapat bahwa tahap 5 dan 6 tidak adil jika dikatakan tahap perkembangan moral yang paling tinggi karena membatasi kedewasaan terhadap sekelompok orang yang diberikan refleksi filosofis.
Lebih jauh lagi, tidak ada hubungan yang sudah jelas antara penalaran moral dan moral tingkah laku.
Pengaruh Orangtua, Teman Sebaya, dan Budaya
Piaget dan Kohlberg sama-sama setuju bahwa orangtua mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Remaja dengan orangtua yang mendukung, orangtua yang sering menstimulasi mereka dengan pertanyaan cenderung untuk mencapai penalaran yang lebih tinggi.
Teman sebaya juga berpengaruh. Memiliki lebih banyak teman, menghabiskan waktu yang berkualitas dengan mereka, dan diangkat sebagai pemimpin diasosiasikan dengan penalaran moral yang lebih tinggi.
Budaya dari masing-masing daerah juga mempengaruhi. Orang-orang yang lebih tua di negara-negara belahan Barat cenderung mencapai tahap yang lebih tinggi. Namun, orang-orang dengan budaya non-Barat jarang mencapai tahap ke 4.
F. An Ethnic of Care: Gilligan’s Theory
Carol Gilligan (1982/1993) menyatakan bahwa teori Kohlberg hanya berorientasi pada nilai yang lebih penting pada pria daripada wanita. Gilligan menganggap wanita melihat moralitas tidak dalam batasan hukum dan keadilan dari tanggungjawab untuk menunjukkan kepedulian dan menghindari kekerasan.
Penelitian Gilligan menemukan perbedaan gender yang kecil dari kepedulian moral antara remaja dalam beberapa budaya. Contohnya, remaja awal perempuan di US lebih cenderung menekankan kepedulian daripada laki-laki, hal ini mungkin disebabkan perempuan secara umum lebih cepat dewasa dan memiliki intimasi hubungan sosial daripada laki-laki.
G. Prosocial Behaviour and Volunteer Activity
Prosocial moral reasoning ialah alasan mengenai permasalahan moral dimana kebutuhan atau hasrat seseorang bertentangan dengan situasi orang lain dalam hal aturan atau norma sosial yg tidak jelas atau tidak ada. Dalam sebuah penelitian longitudinal, prosocial reasoning didasarkan pada refleksi diri tentang konsekuensi dan untuk menginternalisasi nilai dan norma meningkat sesuai dengan umur.
Perilaku prososial juga meningkat dari masa anak-anak hingga remaja. Perempuan lebih cenderung berperilaku prososial daripada laki-laki, perbedaan ini lebih tampak pada masa remaja. Perempuan memandang dirinya lebih empatik dan prososial dibandingkan dengan laki-laki, orangtua dari anak perempuan menekankan tanggungjawab sosial lebih besar daripada orangtua anak laki-laki. Para orangtua yang menggunakan disiplin induktif lebih mungkin memiliki anak remaja yang prososial daripada orangtua yang menggunakan disiplin otoriter yang tegas.
Setengah dari para remaja terlibat dalam pelayanan komunitas atau aktifitas sukarelawan. Aktifitas prososial ini mampu membuat para remaja menjadi terlibat dalam perhimpunan dewasa, untuk meng-explore kemampuan mereka sebagai bagian dari komunitas, dan untuk menghubungkan rasa perkembangan identitas mereka menjadi keterlibatan kenegaraan.
Sukarelawan remaja cenderung memiliki tingkatan yang tinggi dalam pemahaman diri dan komitmen kepada orang lain. Murid yang menjadi pekerja sukarelawan diluar sekolah, sebagai orang dewasa, lebih berkomitmen dalam komunitas mereka daripada yang tidak.
2. Persiapan Pendidikan dan Pekerjaan
Sekolah adalah pengalaman utama berorganisasi di pada remaja. Sekolah memberikan kesempatan untuk belajar, menguasai beragam keterampilan, mengasah bakat atau aktifitas belajar lain. Pendidikan tersebut berperan untuk membantu para remaja menjelajahi pemilihan karir, dan untuk bersosialisasi. Remaja di US secara rata-rata memiliki nilai yang lebih rendah dalam tes pencapaian akademis dibandingkan remaja di negara lain.
A. Influences on School Achievements
Siswa yang berprestasi baik di sekolah cenderung untuk tetap bersekolah. Seperti di Sekolah Dasar, faktor kebiasaan orangtua, status sosial-ekonomi, dan kualitas lingkungan mempengaruhi prestasi belajar remaja di sekolah. juga faktor lain termasuk gender, kesukuan, pengaruh lingkungan, kualitas pendidikan dan keyakinan murid terhadap dirinya sendiri; mampu mempengaruhi prestasi belajar.
Student Motivation and Self-Efficacy
Di Negara barat, khususnya US, pelaksanaan pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa murid bisa di-motivasi untuk belajar. Pendidik menekankan pentingnya motivasi intrinsik yaitu kemauan siswa untuk belajar demi kepentingan sendiri.
Di budaya barat, siswa yang tinggi dalam self-efficacy yang meyakini kalau mereka mampu mengatasi tugas dan mengatur pembelajaran mereka sendiri, lebih baik di sekolah. Dalam budaya lain, pendidikan tidak didasarkan pada motivasi pribadi tetapi faktor seperti kewajiban (di India), tunduk pada kekuasaan (di negara-negara Islam), dan bentuk partisipasi dalam keluarga dan komunitas (di sub-sahara Afrika). Di negara Asia bagian timur, siswa diharapkan untuk belajar, bukan karena pentingnya belajar, tetapi untuk memenuhi harapan keluarga dan masyarakat. Pendidikan memerlukan usaha yang serius, dan siswa yang gagal atau tertinggal di belakang wajib mengulang kembali.
Di negara-negara berkembang, kurangnya motivasi dalam hal sosial dan ekonomi menghalangi pendidikan: ketidakmampuan atau tidak tersedianya sekolah dan sumber pendidikan, keharusan anak bekerja dan membantu keluarga, menghalangi pendidikan bagi anak perempuan atau kelompok budaya, dan pernikahan dini.
Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi, yang percaya bahwa mereka dapat menguasai tugas-tugas dan meregulasi cara belajar mereka sendiri, lebih mungkin mencapai prestasi yang baik di sekolah. Motivasi siswa dipengaruhi oleh tuntutan orangtua mereka kepada mereka, tetapi kepercayaan diri dari siswa tersebut tentang kemampuan mereka lebih berpengaruh lagi.
Importance of SES and Related Family Characteristics
Menurut penelitian terhadap 15 tahun kecakapan matematik dalam 20 negara berpenghasilan tinggi, status sosial-ekonomi yang tinggi merupakan prediktor penting dalam kesuksesan akademik. Batasan yang mirip muncul antara siswa yang orangtuanya mempunyai pendapatan yang tinggi dengan mereka yang berpendapatan menengah ke bawah.
Gender
Dalam tes internasional dari remaja di 43 negara industri, anak perempuan di seluruh negara lebih baik dalam membaca dibanding anak laki-laki. Anak laki-laki lebih baik dalam matematika, tetapi perbedaan ini kurang dinyatakan dalam membaca. Anak perempuan lebih cenderung baik dalam penilaian membaca dan menulis dibanding anak laki-laki.
Secara keseluruhan, faktanya, pada awal masa remaja, anak perempuan lebih baik dalam bidang verbal yang melibatkan kegunaan tulisan dan bahasa; anak laki-laki lebih baik dalam aktifitas yang melibatkan penglihatan dan fungsi spasial yang membantu dalam hal matematika dan pengetahuan alam.
Anak laki-laki lebih mungkin dibandingkan anak perempuan dalam mengalami penurunan prestasi (underachiever), ditugaskan untuk pendidikan khusus atau perbaikan, diusir atau dikeluarkan dari sekolah atau mengambil kursus yang bergengsi, masuk dalam perguruan tinggi yang terbaik, dan untuk menyanggupi tantangan karir.
Poin penelitian terhadap perbedaan gender mengandung 2 aspek penjelasan, biologis dan lingkungan. Otak pria dan wanita berbeda, dan akan lebih lagi dalam umur yang berbeda. Perempuan lebih memiliki bagian abu-abu (badan sel neuron, untuk koneksi dekat), tetapi laki-laki lebih memiliki bagian putih (myelin) dan cairan cerebrospinal yang untuk koneksi rangsangan syaraf yang lebih panjang. Perbedaan keuntungan masing-masing koneksi ini dihubungkan dengan kemampuan visual dan spasial, yang membantu dalam bidang matematika dan pengetahuan alam.
Dalam penelitian lain, corpus callosum, yang mana hubungan antara dua hemisfer otak, lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki, yang menghasilkan proses bahasa yang lebih baik. Sebagai tambahan, otak perempuan lebih seimbang melewati hemisfer dibanding laki-laki, menghasilkan jangkauan yang lebih luas dalam proses kognitif, dimana otak laki-laki lebih terspesialisasi. Otak laki-laki lebih mampu dalam aktifitas dalam tiap hemisfer, dimana otak perempuan beraktifitas dengan melewati hemisfer, menghasilkan mereka untuk mengintegrasikan tugas verbal dan analitis (otak kiri) dengan tugas spasial dan keseluruhan.
Kekuatan sosial dan budaya yang mempengaruhi perbedaan gender termasuk dalam:
- Pengaruh tempat tinggal : Pada kebudayaan, tingkatan pendidikan orangtua dihubungkan dengan prestasi matematika anaknya. Perilaku orangtua dan harapan orangtua juga mempengaruhi.
- Pengaruh sekolah : Perbedaan cara mengajar guru pada laki-laki dan perempuan khususnya kelas matematika dan pengetahuan alam.
- Pengaruh tetangga : Anak laki-laki mendapat keuntungan lebih dari lingkungan diperkaya dan lebih menyakitkan oleh lingkungan dicabut.
- Aturan wanita dan pria dalam masyarakat membantu membentuk pilihan perempuan dan laki-laki terhadap pendidikan dan pekerjaan.
- Pengaruh budaya: Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa jumlah dari perbedaan gender dalam keragaman prestasi matematis diantara negara dan semakin besar pada akhir dari secondary school. Perbedaan ini dikorelasikan dengan tingkatan dari persamaan gender dalam masyarakat.
Pengaruh Pola Asuh Orangtua, Suku Bangsa, dan Kelompok
Pola asuh orangtua berpengaruh dengan bagaimana anak menjalani kesuksesan maupun kegagalan dalam hidupnya.
Orangtua yang otoritatif mendukung para remaja untuk melihat permasalahan dari dua sisi, serta menerima keterlibatan para remaja untuk membuat keputusan dalam keluarga. Orangtua yang otoritatif tidak malu untuk mengakui bahwa terkadang para remaja lebih banyak tahu dibandingkan mereka. Para orang tua ini menyeimbangkan tuntutan terhadap anak dengan memberi respons baik positif untuk hal-hal baik maupun negatif untuk hal-hal buruk pada anak mereka.
Sebaliknya, orangtua non-otoritatif melarang para remaja untuk membantah dan berdebat atau mempertanyakan sesuatu pada orang dewasa. Hal yang baik akan membuat para orangtua non-otoritatif untuk menuntut hal yang lebih baik lagi, tetapi hal yang buruk akan menghasilkan penghukuman bagi para remaja.
Rasa tidak berdaya yang berkaitan dengan pola asuh orangtua non-otoritatif dapat menjadi self-fulfilling prophecy, membuat anak tidak terdorong atau termotivasi untuk meraih keberhasilan.
Orangtua permisif tampak tidak perduli dengan hal-hal baik maupun buruk yang didapat anak. Para orangtua ini beranggapan bahwa remaja harus bertanggung-jawab terhadap hidupnya sendiri.
Prestasi yang baik di sekolah bagi para remaja dari berbagai latar belakang imigrasi mencerminkan penekanan kuat dan dukungan dari keluarga dan teman untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan.
Pengaruh kelompok pertemanan atau rekan sebaya dapat membantu menjelaskan penurunan prestasi dan motivasi bagi para remaja awal. Remaja yang memiliki kelompok teman yang pintar dan berprestasi tinggi, cenderung mengalami penurunan prestasi yang kecil dibandingkan dengan remaja yang memiliki kelompok pertemanan yang berprestasi rendah.
The School
Kualitas sekolah sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa. Sekolah menengah atas yang bagus,memiliki atmosfer yang teratur dan tidak menindas; kepala sekolah yang aktif dan enerjik; dan pengajar yang tetap,rasa positif dalam komunitas. Remaja lebih puas terrhadap sekolah apabila mereka diizinkan untuk berpartisipasi dalam membuat aturan dan merasa mendapatkan dukungan dari guru dan siswa lain dan jika kurikulum dan instruksi berarti penting,semsetinya menantang dan cocok terhadp ketertarikan,level skill,dan kebutuhan.
Sekolah yang menyesuaikan pengajaran kepada kemampuan siswa mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang mencoba mengajarkan semua siswanya dengan cara yang sama.
B. Dikeluarkan dari Sekolah
Kenapa remaja yang miskin dan minoritas lebih sering terkena Drop Out?
Salah satu alasan mungkin sitstem sekolah yang tidak efektif: harapan guru yang rendah,perlakuan yang berbeda atas setiap murid,dukungan yang kurang dari guru dsb. Sebuah faktor yang penting yang menonjol pada orang yang cukup sukses adalah active engagement: “ perhatian,ketertarikan,modal,dan upaya yang pelajar gunakan dalam pekerjaan sekolah”. tingkat dimana pelajar terlibat dengan sekolah secara personal. Di level paling dasar, active engagement berarti datang ke kelas tepat waktu, sudah mempersiapkan diri, mendengarkan dan merespon terhadap pengajar dan mematuhi peraturan sekolah. Level tinggi lainnya secara konsisten terlibat dengan coursework-bertanya, mengambil inisiatif membantu atau mengerjakan tugas tambahan. Kedua level ini cenderung menunjukkan efek positif pada performa di sekolah. Murid yang mengikuti ekstrakurikuler dan mempunyai pekerjaan full time cenderung juga terkena drop out.Dorongan keluarga adalah nomor satu. Lainnya mungkin kelas kecil yang nyaman, lingkungan sekolah yang mendukung. Pengalaman prasekolah dapat menentukan tingkat kegagalan atau keberhasilan seseorang di tingkat sekolah menengah.
C. Preparing for Higher Education or Vocations
Banyak faktor yang menjadi pertimbangan anak muda untuk mengembangakan karir seperti kemampuan individu dan kepribadian, pendidikan, sosial ekonomi dan latar belakang suku, informasi dari konselor sekolah, pengalaman hidup, nilai masyarakat. Mari melihat pengaruh dalam pendidikan dan aspirasi pekerjaan. Kemudian menguji persiapan untuk remaja yang tidak melanjut ke universitas.
Berbagai Pengaruh Terhadap Aspirasi Siswa
Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri- biasanya dipengaruhi oleh keyakinan dan cita-cita orangtua-membentuk pilihan untuk remaja pertimbangkan atau bagaimana mereka mempersiapkan untuk karir (Bandura, Barbaranelli, Caprara,& Pastorelli,2001;Bandura et al., 1996).
Meskipun terjadi fleksibilitas dalam karir dalam masa ini, gender-dan stereotipe tentang gender- dapat mempengaruhi pilihan untuk pekerjaan. Sistem pendidikan sendiri juga berperan sebagai pengendali dalam aspirasi tentang pekerjaan. Pelajar yang mampu mengingat dan menganalisa cenderung mengerjakan dengan baik dalam hal tes intelegensi dan di kelas ketika guru menerangkan. Oleh karena itu, sesuai dengan diprediksikan dari tes, para pelajar ini adalah pelaksana suatu sistem dimana menitikberatkan pada kemampuan mereka untuk menjadi lebih menonjol. Siswa yang lebih menonjol di kreativitas dan pemikiran praktis tidak pernah mendapat kesempatan untuk menunjukkan apa yang mereka bisa( Sternberg, 1997). Pengakuan akan adanya jarak yang berbeda dalam intelegensi, digabungkan dengan cara mengajar yang fleksibel dan konseling karir, dapat memberikan lebih banyak pelajar untuk mendapat pendidikan dan masuk ke pekerjaan yang mereka inginkan dan membuat kontribusi dibidang yang mereka tekuni.
Bimbingan bagi Siswa yang Tidak Kuliah
Kebanyakan kota yang mengindustrialisasi menawarkan petunjuk untuk pelajar yang tidak melanjut ke universitas. Jerman, mempunyai sistem belajar tentang pertukangan bagi mahasiswa sekolah tinggi yang sekolah setengah hari dan menghabiskan masa akhir minggu untuk mengerjakan on job training yang dibuat employer-mentor. Berbeda dengan U.S yang lebih mengedepankan konseling bagi remaja yang menuju ke universitas. Di beberapa komunitas, program demonstrasi membantu peralihan sekolah ke dunia kerja. Yang paling berhasil yaitu menawarkan kemampuan dasar, konseling, pertukangan dan penempatan kerja(NRC, 1993a). Di tahun 2000-2001 hampir dari setengah sekolah dan program alternative menawarkan pelatihan tentang profesi/pekerjaan.
Remaja dalam lingkungan pekerjaan.
Di United States,pada estimasi 80-90 persen dari remaja bekerja paruh waktu selama masa kuliah,kebanyakan di kerja servis dan eceran.Para peneliti tidak setuju apakah kerja part-time menguntungkan bagi siswa perkuliahan(dengan membantu mereka mengembangkan skill dunia nyata dan budaya pekerjaan) atau merusak(dengan mengalihkan mereka dari pendidikan jangka panjang dan tujuan penting dalam pekerjaan.Beberapa penelitian mengatakan bahwa murid yang bekerja dibagi atas dua bagian,yang pertama adalah orang-orang yang menuju tahap dewasa,dan yang lainnya bekerja pada waktu pada peralihan waktu senggang,menyeimbangkan pekerjaan sekolah,kerja bayaran,dan aktivitas ekstrakurikuler.
Papalia, Diana. E, Sally Wendkos Old and friends. 2009. Human Development: Eleventh Edition. New York: McGraw Hill.
Santrock, John. W. 2009. Life Span Development: Twelth Edition. New York: McGraw Hill.
Perkembangan sosialemosional pada dewasa akhir (lansia)
1. THEORIES OF SOCIOEMOTIONAL DEVELOPMENT
Masa tua atau dewasa akhir sering dikaitkan dengan berbagai penurunan seperti kondisi fisik dan aktivitas sosial. Beberapa lansia (lanjut usia) tetap aktif dalam kegiatan fisik maupun sosial, namun beberapa lansia lain justru terlihat seperti kehilangan semua aktivitas sosialnya dan lebih sering berdiam diri memikirkan kehidupannya. Jika dikaitkan dengan teori, ada 4 teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perkembangan sosial-emosional masa dewasa akhir yaitu teori Erikson, teori aktivitas, teori selektivitas sosial-emosional, dan teori optimalisasi selektif dengan kompensasi.
a. Erikson’s Theory
Erikson mengemukakan 8 tahapan perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia. Tahapan yang menjelaskan mengenai perkembangan kehidupan usia lanjut adalah tahapan akhir yaitu integritas versus rasa putus asa (integrity vs despair). Dalam tahapan ini, manusia biasanya mulai merefleksikan sepanjang kehidupannya mulai dari bagian positif hingga bagian yang menurutnya kurang bermanfaat. Lansia yang mendapatkan gambaran mengenai kehidupannya masa lalu dengan banyak hal positif, akan mencapai kepuasaan (integritas). Sedangkan lansia yang melalui satu atau beberapa konflik negatif pada tahapan-tahapan sebelumnya akan melihat kehidupannya lebih ke arah negatif (keputusasaan). Refleksi kehidupan biasanya dilakukan dengan melihat pengalaman di masa lalu, mengevaluasi pengalaman tersebut, menginterpretasi, dan terkadang menginterpretasi kembali di kehiduapan saat itu.
Meninjau kembali kehidupan biasanya digerakkan oleh penantian akan kematian. Lansia yang memiliki kepuasaan biasanya meninjau kembali kehidupannya dengan penuh semangat, sedangkan yang kurang memiliki kepuasaan biasanya meninjau kembali kehidupannya dengan diam-diam seperti menyendiri dan merenung. Refleksi kehidupannya juga dipengaruhi oleh dimensi kebudayaan sosial seperti budaya, etnis, jenis kelamin, dan hubungan interpersonal seperti kedekatan dengan keluarga atau teman.
Salah satu aspek dalam merefleksikan kehidupan adalah penyesalan sebagai proses untuk menunjuk kematangan pikiran dan pemahaman tentang diri. Penelitian terbaru menunjukkan terdapat empat (4) garis besar penyesalan yaitu, kesalahan dalam pengambilan keputusan yang salah, masa-masa sulit, hubungann sosial, dan kehilangan kesempatan mendapat pendidikan.
b. Activity Theory
Teori ini mengatakan bahwa semakin aktif dan semakin banyak kegiatan pada masa lansia, menunjukkan semakin puas mereka terhadap kehidupannya. Para peneliti menemukan bahwa ketika lansia aktif, lincah, dan produktif, mereka akan lebih sukses dan bahagia daripada ketika mereka tidak bersosialisasi. Teori ini juga mengatakan bahwa setiap individu dapat meningkatkan kepuasaan mereka terhadap kehidupan jika mereka tetap melanjutkan tugas atau kegiatan yang mereka lakukan selama masa muda hingga lansia. Jika kegiatan ini terhenti, misalnya pensiun dini, sebaiknya mereka mencari rutinitas lain yang membuat mereka tetap aktif.
c. Socioemotional Selectivity Theory
Teori selektivitas sosial-emosiaonal mengatakan bahwa orang yang berada pada masa dewasa akhir akan semakin selektif dalam menjalin hubungan sosial mereka karena lansia meletakkan nila yang tinggi pada kepuasaan emosional mereka. Oleh karena itu, kebanyakan lansia lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang yang mereka kenal yang memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan mereka. Dengan semakin selektif membatasi interaksi sosial, akan meningkatkan pengalaman emosi positif dan meminimalkan risiko-risiko emosional sebagai individu yang sudah semakin tua. Teori ini membantah pernyataan yang mengatakan bahwa rasa putus asa disebabkan karena adanya isolasi terhadap lansia. Sebaliknya, teori ini mengatakan bahwa mengurangi hubungan sosial mereka secara sistematis sehingga beberapa orang yang tetap dekat dengan mereka dapat memberikan kepuasaan terhadap kebutuhan emosi mereka.
Teori ini juga berfokus pada tipe tujuan yang memotivasi individu dalam pencapaiannya yaitu pengetahuan dan emosional. Selama masa muda, motivasi untuk mendapatkan pengatahuan sangat tinggi lalu kemudian menurun ketika masa tua. Sebaliknya, ketika masa muda, motvasi untuk mencapai kepuasaan emosional sangat rendah sedangkan di masa tua sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena waktu yang dimiliki (awal-akhir). Ketika muda, individu sangat termotivasi untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya walaupun sangat mengurangi kepuasaan emosional. Sedangkan ketika masa tua, individu hanya memiliki sedikit waktu sehingga mereka termotivasi untuk menghabiskan waktu meningkatkan kepuasaan emosional.
d. Selective Optimization with Compensation Theory
Menurut teori optimalisasi selektif drngan kompensasi, ada tiga elemen kompensasi terhadap penurunan tubuh, yaitu:
1. Seleksi adalah konsep dasar bahwa dewasa tua akan mengurangi kapasitas dan keberfungsian atau pekerjaan. Optimalisasi berarti ada kemungkingan untuk meningkatkan performa dalam beberapa bidang dengan tetap latihan fisik dan memanfaatkan teknologi baru.
2. Kompensasi mengatakan akan menjadi relevan jika tugas-tugas dalam kehidupan mengharuskan kapasitas level yang melebihi level dari potensi performa lansia.
Teori ini pertama dikemukakan oleh Paul Baltes dan rekan-rekannya. Proses optimalisasi selektif dengan kompensasi akan menjadi efektif ketika seseorang sedang mengejar kesuksesan dari lingkungan. Dengan menggunakan ketiga elemen tersebut, seseorang dapat melanjutkan hidupnya dengan penuh kepuasaan walaupun dengan banyak batasan sikap. Ketiga elemen ini berbeda pada setiap individu tergantung dari pengalaman hidupnya, ketertarikan, kesehatan, kemampuan, dan sumber daya. Menurut Baltes, seleksi dan prioritas dalam hidup merupakan aspek penting perkembangan. Bagi kebanyakan individu, kepuasaan hidup bukan hanya sebatas pencapaian tujuan belaka tetapi lebih kepada pencapaian tujuan yang penuh arti.
2. PERSONALITY, THE SELF, AND SOCIETY
a. Personality
Penelitian menunjukan bahwa beberapa dari faktor kepribadian Big Five berlanjut berubah pada dewasa akhir ( lanjut usia), misalnya conscientiousness berubah pada dewasa akhir, dan orangtua yang lebih dewasa lebih conscientious dan agreeable dibanding dewasa awal dan dewasa madya.
Sebuah studi longitudinal pada lebih dari 1.200 individu selama tujuh dekade menunjukan faktor conscientiousness dipredikasikan sebagai resiko angka kematian lebih tinggi pada lanjut usia. Selain itu dua dari faktor the Big Five yang berhubungan dengan kematian lansia yaitu conscientiousness rendah dan neuroticism tinggi dapat diprediksikan mempercepat kematian.
Pengaruh dan pandangan kehidupan juga berhubungan dengan kematian orangtua dewasa. Orangtua dewasa dicirikan dengan pengaruh yang negatif tidak hidup selama orang yang memperlihatkan pengaruh positif dan orangtua dewasa yang optimis yang mempunyai pandangan positif dalam kehidupan hidup lebih lama daripada teman sebaya mereka yang pesimis dan mempunyai pandangan negatif dalam kehidupan.
b. The Self and Society
Self-Esteem. Peneliti menunjukan bahwa pada lansia menjadi janda, ditempatkan di panti jompo, keadaan fisik yang memburuk, atau komitmen agama yang rendah, dapat menjadi alasan rendahnya self-esteem pada lansia.
Kestabilan self-esteem meningkat pada remaja akhir dan dewasa awal. Oleh remaja akhir, individu merupakan pengalaman berubahnya fisik dan pertahanan kontrol diri yang lebih baik yang dikontribusikan dengan meningkatnya kestabilan self-esteem. Kestabilan self-esteem pada lansia menurun dengan berubahnya kehidupan yang drastis dan pergantian keadaan sosial, misalnya kematian orang yang dicintai dan kesehatan yang memburuk.
Possible Selves. Possible selves merupakan menjadi seperti apa mereka, menjadi seperti apa yang mereka inginkan, dan apa yang mereka takutkan.
Self-Acceptance. Self-acceptance lansia ditentukan pada apakah mereka menjelaskan masa lalu, masa sekarang, masa depan, atau ideal self mereka.
Self-Control. Meskipun orangtua dewasa menyadari pertambahan usia, kebanyakan tetap mempertahankan kontrol diri. Pengaruh negatif dari masalah usia, seperti memburuknya kondisi fisik dan kemampuan kognitif dan meningkatnya penyakit, dapat ditahan dengan kefleksibelan dan pengaturan kontrol diri.
c. Older Adults in Society
Stereotyping Older Adults. Partisipasi sosial lansia selalu dipatahkan oleh ageism, yaitu melawan prasangka orang lain karena umur mereka terutama melawan prasangka lansia. Mereka selalu menerima sebagai orang yang tidak mampu dalam berpikir, mempelajari hal baru, melakukan seks, berkontribusi pada masyarakat, atau bertanggung jawab dalam pekerjaan. Kebanyakan lansia menunjukan diskriminasi yang menyakitkan dan terlalu takut untuk menyerang hal tersebut. Karena umur mereka, dewasa akhir tidak menggaji pekerja baru, menghindari untuk bersosialisasi, atau menghilang dari kehidupan keluarganya. Konsekuensi pribadi dari stereotipe yang negatif mengenai umur dapat menjadi sebuah masalah yang serius dan ageism dapat meluas.
Policy Issues in an Aging Society. Masyarakat yang berumur tua dan status orangtua dalam masyarakat menimbulkan masalah kebijakan tentang kesejahteraan lansia.
1. Status of the Economy. Masalah penting yang menyangkut ekonomi dan umur merupakan keprihatinan bahwa ekonomi tidak dapat memikul beban orangtua yang karena alasan umur mereka biasanya merupakan pengguna daripada pencipta.
2. Health Care. Masyarakat yang umurnya tua juga memberi berbagai masalah meliputi perawatan kesehatan. Meningkatnya biaya kesehatan menjadi penyebab kekhawatiran yang serius. Salah satu faktor yang berkontribusi melonjaknya biaya kesehatan adalah meningkatnya jumlah lansia. Lansia mempunyai penyakit yang lebih banyak dibanding dewasa muda walaupun faktanya banyak lansia yang mengatakan kesehatan mereka baik.
3. Eldercare. Eldercare merupakan orang yang merawat fisik dan emosional anggota keluarga yang lebih tua apakah merawat membantu fisik sehari-hari atau bertanggung jawab mengatur dan mengawasi.
4. Generational Inequity. Merupakan sebuah pandangan dimana masyarakat yang mengalami penuaan menjadi tidak adil terhadap anggota yang lebih muda karena menimbun keuntungan dengan menerima alokasi sumber daya yang besar yang tidak merata.
Income. Perhatian khusus lainnya pada dewasa akhir yaitu lansia yang miskin. Di Amerika Serikat, kesehatan yang buruk yang dialami lansia dihubungkan dengan kualitas kehidupan berhubungan dengan pendapatan $15.000 atau kurang dari $15.000.
Living Arrangements. Hampir 95 persen lansia tinggal di dalam masyarakat. Dua per tiga dari mereka tinggal dengan anggota keluarga dan sepertiga dari mereka tinggal sendiri. Lansia yang tinggal sendiri merasa kesepian dibanding teman sebaya yang tinggal dengan anggota keluarga. Bagaimana pun, sebagai dewasa muda, tinggal sendiri seperti lansia bukan berarti kesepian. Lansia yang tinggal sendiri biasanya memiliki kesehatan yang baik dan tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan, dan bersosialisasi dengan kerabat, teman, dan tetangga.
Techonology. Lansia menghabiskan waktunya menggunakan internet, mengunjungi website, dan mengeluarkan banyak uang untuk internet dibanding teman sebaya yang lebih muda. Mereka lebih tertarik menggunakan e-mail dan mencari informasi mengenai kesehatan. Meningkatnya jumlah lansia yang menggunakan e-mail supaya dapat berkomunikasi dengan kerabatnya.
3. FAMILIES AND SOCIAL RELATIONSHIPS
a. Lifestyle Diversity
Gaya hidup pada lansia mengalami perubahan. Dulunya, di tahun-tahun yang akan datang yang mungkin terjadi meliputi pernikahan bagi pria lansia dan menjadi janda bagi wanita lansia. Dengan adanya perubahan demografi pada pernikahan yang mengalami kegagalan yang ditandai dengan perceraian, sepertiga lansia saat ini dapat menikah, bercerai, dan menikah kembali selama kehidupan mereka.
Married Older Adults. Individu yang menikah atau menjadi pasangan pada usia lansia biasanya lebih bahagia dan hidup lebih lama dibanding mereka yang hidup sendiri. Sebuah studi menunjukan bahwa lansia lebih puas dengan pernikahan mereka daripada saat mereka dewasa muda dan dewasa madya. Sebenarnya, kebanyakan lansia melakukan evaluasi terhadap pernikahan mereka bahagia atau sangat bahagia. Kepuasan dalam pernikahan biasanya lebih dirasakan oleh wanita daripada pria mungkin karena wanita lebih menekankan dalam pencapaian kepuasaan melalui pernikahan dibandingkan dengan pria.
Divorced and Remarried Older Adults. Perceraian dapat merusak hubungan kekerabatan jika itu terjadi dikemudian hari terutama pada kasus pria dewasa. Wanita lansia yang bercerai cenderung memiliki sumber finansial yang memadai dibanding wanita lansia yang menikah, dan seperti sebelumnya di masa dewasa, bercerai dihubungkan dengan masalah kesehatan pada lansia. Bagi lansia yang menikah kembali, menurut penelitan, lansia menerima tekanan sosial yang negatif karena keputusan mereka untuk menikah kembali. Sangsi negatif ini ditunjukan dengan mengangkat alis untuk menolak oleh anak-anak dewasa. Bagaimanapun, kebanyakan dari anak-anak dewasa mendukung keputusan orangtua mereka untuk menikah kembali. Peneliti menunjukan bahwa orangtua yang menikah kembali dan orangtua tiri memberikan perhatian yang kurang kepada anak-anak tiri mereka dibanding orangtua pada pernikahan pertama.
Cohabiting Older Adults. Pada tahun 1960, banyak Lansia yang hidup bersama. Untuk itu diharapkan bahwa jumlah dari lansia yang hidup bersama akan bertambah sehingga mengakibatkan melonjaknya jumlah bayi dan semakin membawa ke sejarah mereka menjadi nilai yang tidak tradisional mengenai cinta, seks dan hubungan dewasa akhir. Pada banyak kasus, kumpul kebo banyak mengenai persahabatan daripada cinta. Pada lansia lebih banyak ditemukan pasangan yang lebih stabil hubungannya dibandingkan dengan pasangan kumpul kebo yang muda. Walaupun para lansia yang kumpul kebo sangat sedikit yang akhirnya menikah.
Romance and Sex in Older Adult’s Relationships. Kita sebelumnya membayangkan bahwa pasangan yang lebih tua tertarik pada seks atau romansa hubungan. Kita berpikir mereka menjadi lebih tertarik bermain kartu atau bergosip atau bercerita di teras. Namun pada faktanya, bertambahnya kesehatan dan umur yang panjang dari para lansia telah menghasilkan banyak pasangan tua yang melakukan kencan di kolam renang. Mengenai seksualitas mereka, para lansia memiliki cara yang berbeda dibandingkan orang yang lebih muda dalam menyalurkannya, terlebih ketika hubungan seksual mereka yang bertunangan menjadi lebih sulit. Lansia lebih menikmati sentuhan dan perhatian yang diberikan pasangannya sebagai aktivitas seksualnya. Bertambahnya usia sering dihubujngkan dengan berkurangnya hubungan seksual. Bagaimanapun persahabatan sering menjadi lebih penting ketimbang kebutuhan seksual.
b. Older Adult Parents and Their Adult Children
Sekitar 80% dari para lansia tinggal bersama anaknya yang telah berumur paruh baya. Sementara 10% bersama anaknya yang telah berusia 65 tahun. Perbedaan karakter orang tua lansia dan anak mereka yang sulung. Perceraian, kumpul kebo dan anaknya yang melahirkan diluar pernikahan pada umumnya dalam sejarah dewasa lebih tua pada saat ini dibanding sebelumnya.
Gender memainkan peran penting melibatkan orang tua lansia dan anak mereka. Anak perempuan yang tua dibandingkan anak laki-laki yang tua lebih suka dilibatkan pada orang tua mereka yang sudah menua.
Bantuan penting yan diberikan anak yang tua dapat membantu mengkordinir dan memonitor pelayanan kepada orang tua yang sudah tidak aktif lagi.
c. Great - Grandparenting
Karena semakin meningkatnya umur panjang, banyak kakek pada saat ini menjadi kakek buyut.Orang sering mempersepsikan kakek buyut mereka memiliki peraturan yang terdefenisi dan memiliki pengaruh dalam kehidupan mereka.
d. Friendships
Wanita yang tidak memiliki teman baik akan lebih sedikit memiliki kepuasan dengan hidup dibandingkan dengan wanita yang memiliki teman baik. Dan wanita akan lebih merasakan depresi dibanding laki-laki apabila tidak memiliki teman baik. Dan wanita yang memiliki teman baik akan semakin kecil mengalami depresi.
e. Social Support and Social Integration
Dukungan Sosial dan Integrasi Sosial memiliki peran penting untuk kesehatan fisik dan mental para lansia. Pada konvoi model hubungan sosial, seorang individu akan membantu hubungan ke individu kepada siapa mereka memberi dan dari siapa mereka menerima.
Lansia yang menikah dan dengan lebih sedikit membutuhkan dukungan formal sosial, seperti perawat di rumah, perlindungan hari tua, pengantar makanan, ketimbang lansia yang tidak menikah. Keluarga memainkan perang penting dalam dukungan sosial bagi lansia, tetapi teman juga dapat memberikan bantuan terhadap dukungan sosialnya.
Integrasi sosial juga memainkan peran penting dalam kehidupan para lansia. Dengan berkurangnya aktivitas sosial dari banyak lansia bisa mempengaruhi besarnya ketertarikan mereka dalam menghabiskan waktu dalam sebuah lingkaran kecil dari teman dan keluarga dimana mereka akan lebih sedikit memiliki emosi negatif yang muncul. Peneliti telahg menemukan bahwa dengan rendahnya level intergrasi sosialnya dapat dihubungkan dengan penyakit jantung koroner. Bagaimanapun, sendirian dan isolasi sosial adalah sebuah faktor signifikan yang dapat membahayakan para lansia.
f. Alturism and Volunteerism
Sebuah pendapat yang biasa bahwa orangtua diberikan bantuan oleh orang lain daripada memberikan bantuan terhadap dirinya sendiri. Para peneliti baru-baru menemukan bahwa ketika orang dewasa terlibat dalam perilaku altruistik dan relawan mereka bermanfaat dari kegiatan ini. Sebuah studi yang diikuti oleh 423 pasangan yang tua selama lima tahun. Pada awal studi, pasangan ditanya tentang sejauh mana mereka telah diberikan atau menerima bantuan emosional atau praktis dalam tahun lalu. Lima tahun kemudian, orang yang mengatakan bahwa mereka membantu orang lain setengahnya mungkin telah meninggal. Salah satu alasan yang mungkin untuk temuan ini adalah bahwa membantu orang lain dapat mengurangi output dari hormon stres, yang meningkatkan kesehatan jantung dan memperkuat sistim kekebalan tubuh.
Para peneliti juga menemukan bahwa relawan sebagai orang dewasa yang lebih tua dikaitkan dengan sejumlah hasil positif. Sebuah studi awal, peneliti juga menemukan bahwa relawan sebagai orang dewasa yang lebih tua dikaitkan dengan sejumlah hasil positif. Sebuah studi awal individu 65 tahun dan lebih tua menemukan bahwa pekerja sukarelawan dibandingkan dengan nonvoulnteers lebih puas dengan kehidupan mereka dan kurang tertekan dan cemas. Dan dalam sebuah studi baru-baru ini, menjadi relawan sebagai orang dewasa yang lebih tua dikaitkan dengan pengaruh yang lebih positif dan dampak kurang negatif. Salah satu alasan untuk hasil positif dari relawan adalah penyediaan kegiatan konstruktif dan peran produktif, integrasi sosial, dan kebermaknaan ditingkatkan.
4. ETHNICITY, GENDER, AND CULTURE
a. Ethnicity
Perhatian khusus pada orang tua etnis minoritas, khususnya Amerika Latin dan Afrika, yang menduduki statistik kemiskinan. Informasi komparatif tentang Afrika, Latin, dan Kulit putih menunjukkan bahaya ganda mungkin bagi individu lansia etnis minoritas. Mereka menghadapi masalah terkait dengan ageism dan rasisme. Satu studi lebih dari 4000 orang dewasa menemukan bahwa Amerika Afrika merasakan diskriminasi lebih dari non-Latin putih. Baik kekayaan dan kesehatan orang tua etnis minoritas menurun lebih cepat daripada orang tua kulit putih non Latino. Orantua pada etnis minoritas lebih cenderung menjadi sakit, tetapi cenderung tidak menerima pengobatan. Mereka juga memiliki sejarah yang kurang pendidikan, pengangguran, kondisi rumah buruk, dan memiliki harapan hidup yang lebih pendek daripada orangtua kulit putih non-Latin.
Meskipun orangtua dalam etnis minoritas menghadapi stres dan diskriminasi, banyak dari orang dewasa yang lebih tua telah mengembangkan mekanisme koping yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup di dunia non-Latin yang dominan putih. Perpanjangan jaringan keluarga membantu orangtua kelompok-minoritas mengatasi dengan mempelajari arti penting dari hidup dan memberikan mereka rasa dicintai. Komunitas gereja Afrika Amerika dan Altino menunjukkan keinginan pada partisipasi sosial yang berarti, merasakan kekuatan, dan kepuasan internal.
b. Gender
Apakah peran gender berubah ketika kita bertambah tua? beberapa developmentalis percaya bahwa penurunan sifat femini pada wanita dan penurunan sifat maskulin pada pria ketika mereka mencapai usia akhir masa dewasa mereka. Bukti menunjukkan bahwa laki-laki yang lebih tua menjadi lebih feminin- , sensitif, dan sebagainya tetapi tidak selalu terjadi pada wanita yang lebih tua menjadi lebih maskulin- tegas, dominan dan yang lainnya. Perlu diingat bahwa efek kohort sangat penting untuk dipertimbangkan dalam bidang-bidang seperti peran gender. Sebagai perubahan sejarah sosial terjadi dan dinilai lebih sering dalam investigasi sepanjang kehidupan , apa yang dulu dianggap efek usia mungkin berubah menjadi efek kohort.
Bahaya ganda yang mungkin juga dihadapi oleh wanita- baik beban dari ageism dan seksisme. Angka kemiskinan untuk wanita dewasa yang lebih tua hampir dua kali lipat dari laki-laki dewasa yang lebih tua. Tidak hanya penting untuk khawatir tentang bahaya ganda wanita yang lebih tua tentang ageism dan seksisme, tetapi perhatian khusus juga perlu ditujukan untuk wanita tua pada etnis minoritas.
c. Culture
Apa yang mempromosikan usia tua yang baik dalam kebanyakan budaya? analisis terbaru menunjukkan bahwa ketiga faktor penting dalam menjalani kehidupan yang baik sebagai orangtua: kesehatan, keamanan, dan kekerabatan / support.
Dalam satu tampilan, tujuh faktor yang paling mungkin untuk memprediksi status tinggi untuk orang dewasa dalam suatu budaya adalah sebagai berikut:
• Orangtua memiliki pengetahuan yang berharga
• Orangtua memiliki sumber kunci kendali dari keluarga/komunitas
• Orangtua diizinkan untuk terlibat dalam fungsi yang berguna dan dihargai selama mungkin
• Adanya kontinuitas peran sepanjang hidup
• Perubahan peran usia yang terkait melibatkan tanggung jawab, wewenang, dan kapasitas penasihat yang lebih besar
• Keluarga besar adalah pengaturan keluarga yang umum dalam budaya, dan orang tua yang diintegrasikan ke dalam keluarga
• Pada umumnya, menghormati orang dewasa yang lebih tua lebih besar dalam budaya kolektif daripada budaya individualistik
Santrock, John W.2010.Twelfth Edition, Life-Span Development. New York: McGraw-Hill Co.
PENDIDIKAN ANAK PRASEKOLAH: KESIAPAN SEKOLAH
2.1 Definisi Anak Prasekolah
Anak prasekolah atau anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya, yang berada pada retang usia 0-8 tahun.
2.2 Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
Catron dan Allen menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek perkembangan anak usia dini, yaitu kesadaran personal, kesehatan emosional, sosialisasi, komunikasi, kognisi dan keterampilan motorik sangat penting dan harus dipertimbangkan sebagai fungsi interaksi.
1. Kesadaran Personal
Permainan yang kreatif memungkinkan perkembangan kesadaran personal. Bermain mendukung anak untuk tumbuh secara mandiri dan memiliki kontrol atas lingkungannya. Melalui bermain anak dapat menemukan hal yang baru, bereksplorasi, meniru, dan mempraktikan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah langkah dalam membangun keterampilan menolong dirinya sendiri, keterampilan ini membuat anak merasa kompeten.
2. Pengembangan Emosional
Melalui bermain anak dapat belajar menerima, berekspresi dan mengatasi masalah dengan cara yang positif. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal diri mereka sendiri dan untuk mengembangkan pola perilaku yang memuaskan dalam hidup.
3. Membangun Sosialisasi
Bermain memberikan jalan bagi perkembangan sosial anak ketika berbagi dengan anak lain. Bermain adalah sarana yang paling utama bagi pengembangan kemampuan bersosialisasi dan memperluas empati terhadap orang lain serta mengurangi sikap egosentrisme. Bermain dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa sosialisasi anak. Melalui bermain anak dapat belajar perilaku prososial seperti menunggu giliran, kerja sama, saling membantu dan berbagi.
4. Pengembangan Komunikasi
Bermain merupakan alat yang paling kuat untuk pengembangan kemampuan berbahasa anak. Melalui komunikasi inilah anak dapat memperluas kosakata dan mengembangkan daya penerimaan serta pengekspresian kemampuan berbahasa mereka melalui interaksi dengan anak-anak lain dan orang dewasa pada situasi bermain spontan. Secara spesifik, bermain dapat memajukan perkembangan dari segi komunikasi berikut ini: (1) bahasa reseptif, yaitu mengikuti petunjuk-petunjuk dan memahami konsep dasar, (2) bahasa ekspresif, yaitu kebutuhan mengekspresikan keinginan, perasaan, penggunaan kata-kata, frase-frase, kalimat, dan berbicara secara jelas, (3) komunikasi nonverbal, yaitu pengguanaan komunikasi kongruen, ekspresi muka, isyarat tubuh, isyarat tangan, dan (4) memori pendengaran/ pembedaan, yaitu memahami bahasa bicara dan membedakan bunyi.
5. Pengembangan Kognitif
Bermain dapat memenuhi kebutuhan anak untuk secara aktif terlibat dengan lingkungan, untuk bermain dan bekerja dalam menghasilkan suatu karya, serta untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan kognitif lainnya. Selama bermain, anak menerima pengalaman baru, memanipulasi bahan dan alat, berinteraksi dengan orang lain dan mulai merasakan dunia mereka. Bermain menyediakan kerangka kerja untuk anak untuk mengembangkan pemahaman tentang diri mereka sendiri, orang lain dan lingkungan.
6. Pengembangan Kemampuan Motorik
Kesempatan yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar untuk menemukan aktivitas sensori motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan anak untuk memenuhi perkembangan perceptual motorik.
2.3 Pola Perkembangan Anak
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan hal penting dalam rentang kehidupan anak. Anak memerlukan waktu yang cukup untuk aktivitas secara fisik. merupakan hal yang penting pada masa prasekolah dan sekolah dasar pada kelas awal di mana anak memiliki waktu yang cukup untuk beraktifitas secara fisik. Para guru dan orangtua dari anak-anak kecil harus berpikir secara hati-hati ketika sedang merencanakan kegiatan-kegiatan bagi anak-anak kecil. Sebagai contoh, menulis pada garis memerlukan kendali motorik halus yang benar-benar baik, dan kebanyakan dari anak-anak yang berusia lima dan enam tahun belum dapat melakukan kegiatan ini dengan baik, tanpa adanya kesukaran yang pantas untuk dipertimbangkan. Anak-anak yang ikut serta dalam beberapa kegiatan olahraga seperti sepak bola, ketika mereka masih muda mungkin saja akan mengalami kesulitan yang sama. Beberapa orangtua dan pelatih mengharapkan adanya suatu koordinasi bagi anak-anak yang berusia lima sampai dengan delapan tahun. Jika anak-anak mengambil bagian dalam suatu aktivitas yang terorganisir, maka orangtua dan pelatih perlu menyadari akan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut dan untuk menyamakan harapan mereka sebagai orangtua dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.
2. Perkembangan Sosial
Para guru pada umumnya tidak merencanakan aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan perkembangan sosial; sebagai gantinya mereka memikirkan perkembangan sosial sebagai salah satu bentuk dari keikutsertaan anak, dalam suatu kegiatan kelas yang bervariasi. Para guru yang ingin membantu anak untuk berkembang secara sosial dengan baik akan menyadari kemampuan sosial anak-anak dan mengambil keuntungan dari kegiatan kelas yang rutin bagi perkembangan mereka yang lebih lanjut. Aktivitas seharusnya dapat mendorong anak-anak untuk dapat saling bekerja sama, mengembangkan konsep diri mereka, dan untuk memperoleh keterampilan dalam interaksi dengan anak-anak yang lain.
3. Perkembangan Emosional
Pertumbuhan emosional dapat didukung melalui jenis kelas yang memiliki ciri khas belajar berdasarkan pengalaman, jika guru menyadari tahapan perkembangan yang sedang dilalui oleh anak dan juga hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan. Bagi anak yang berada di bangku Taman Kanak-kanak dan kelas satu, sudah dapat menyatakan dan melabelkan suatu emosi yang luas. Mereka dapat menguraikan rasa sedih yang mereka alami, rasa marah, atau perasaan senang dan juga menguraikan suatu situasi yang merupakan emosi yang dihasilkan oleh anak-anak yang lain. Anak-anak ini mejadi lebih mampu dalam mengendalikan perasaan agresif mereka dan, dengan beberapa bimbingan, dapat belajar untuk mengeluarkan rasa frustasi mereka kepada anak-anak lain dengan menggunakan kata-kata dibanding dan bukan dengan memukul. Anak yang berusia lima dan enam juga sudah mulai untuk mengembangkan suara hati dan suatu perasaan tentang benar atau salah.
4. Perkembangan Intelektual
Perkembangan kognitif mengacu pada perkembangan anak dalam berpikir dan kemampuan untuk memberikan alas an. Malkus, Feldman, dan Gardner dalam Catron dan Allen menggambarkan perkembangan kognitif sebagai “… kapasitas untuk bertumbuh untuk menyampaikan dan meghargai maksud dalam penggunaan beberapa system symbol yang secara kebetulan ditonjolkan dalam suatu bentuk pengaturan”. Sistem symbol ini meliputi kata-kata, gambaran, isyarat, dan angka-angka. Anak-anak yang berada pada tahapan sensorimotor memerlukan pengalaman yang berkaitan dengan sentuhan, rasa, dan juga penyelidikan. Dunia anak terorganisir lewat beberapa cara yaitu visual, taktil, dan kinestetik. Anak-anak kecil belajar pada suatu tingkat yang cepat dan juga disertai dengan tantangan dalam tujuannya untuk membangun kekuatan belajar mereka pada tahap praoperasional secara diam-diam, misalnya mengembangkan aspek bahasa mereka dengan cepat dan juga kemampuan mereka untuk mengelompokan dan mengurutka, serta untuk menghindari aktivitas yang megajak mereka untuk memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan untuk mengemukakan sebuah alas an secara abstrak.
3. KESIAPAN SEKOLAH
3.1 Definisi Kesiapan Sekolah
Kesiapan merupakan fakta. Tidak diragukan lagi bahwa beberapa jenis pembelajaran akan lebih mudah dan lebih siap pada usia tertentu daripada usia lain, atau lama belajar sebelumnya turut menentukan berlangsungnya lama belajar baru.
Kesiapan didefinisikan sebagai tersiapnya dan terbekali-siap melakukan, langsung bertindak, atau menggunakan sesuatu. Pengertian kesiapan bersekolah dinyatakan oleh Fitzgeald dan Strommen (1972) sebagai kemampuan anak mencapai tingkat perkembangan emosi, fisik, dan kognisi yang memadai sehingga anak mampu atau berhasil dengan baik secara akademik. Jadi, kesiapan bersekolah adalah kemampuan yang sudah dimiliki anak untuk dapat mengikuti pelajaran disekolah dasar dengan baik.
3.2 Teori Kesiapan Belajar
Tiga teori sangat berbeda yang menjelaskan kesiapan telah memengaruhi pemikiran kita tentang kesiapan. Tiga teori besar yang biasanya menjelaskan kesiapan adalah teori maturationalist, behaviorist, dan constructivist.
1. Teori Maturasional
G. Stanley Hall (1844-1929) dan Arnold Gessel (1880-1961) mengemukakan teori formal maturasional. Teori maturasional beranggapan bahwa pertumbuhan bergerak maju lewat serangkaian tahap yang tidak berubah, setiap tahap dicirikan oleh struktur organism yang berbeda secara kualitatif dan pola interaksi yang berbeda secara kuantitatif antara organism dan lingkungannya. Pertumbuhan dan pembelajaran, menurut teori kematangan, dikarenakan adanya mekanisme fisiologi internal dan pertumbuhan mereka yang teratur dan berurutan ketimbang faktor lingkungan.
Teori maturasional bisa menghasilkan praktik kesiapan yang melakukan hal-hal berikut :
• Memakai patok duga yang kaku mengenai pertumbuhan dan perkembangan normal untuk menentukan apakah anak-anak siap.
• Mengacaukan antara apa yang dilakuka anak-abnak dan hasil akhir pendidikan. Patok duga perkembangan manusia dijadikan kurikulum.
• Memeberi pesan pasif kepada para guru.
• Mengabaikan peran lingkuangan dan pembinaan pada pertumbuhan, perkembangan, dan pembelajaran manusia.
Sebaliknya, teori maturasional bisa sangat berguna untuk memahami kesiapan karena hal-hal berikut:
• Menerima pandangan bahwa belajar merupakan kegiatan biologis yang normal. Anak-anak tidak perlu dipujuk, diajak, dipaksa, dimanipulasi, atau diakali supaya mereka belajar.
• Anak-anak sesungguhnya bertumbuh lewat cara yang dapat diramalkan. Kendati demikian, ada variasi lluas dlam pertumbuhan dan perkembangan anak, hal-hal yang universal dari perkembangan manusia tidak bisa diingkari.
• Pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan member pedoman mengenai praktik. Praktik kurikulum yang tidak berdasarkan pengetahuan tentang kematangan bisa gagal.
2. Teori Behaviorisme
Berbagai teori behaviorisme tentang kesiapan dan pembelajaran bertentangan secara diametris dengan teori maturasional. Jika teori maturasional beranggapan bahwa kesiapan dan pembelajaran itu terbentuk lebih dahulu di dalam diri individu, maka teori behaviorisme menganut pendapat bahwa kesiapan dan pembelajaran itu diletakkan pada individu dari luar.
Teori behaviorisme percaya bahwa semua pengetahuan berasal dari kesan indra, baik sebagai salinan langsung dari kesan indra (gagasan sederhana) atau sebagai kombinasi dari beberapa gagasan sederhana atau rumit. Manusia, seperti halnya semua mamalia, memiliki struktur netral bagi pembentukan asosiasi antara masukan (input) dan keluaran (output) indra. Ini berate bahwa semua manusia mempunyai kemampuan memperoleh hubungan stimulus-respons atau kebiasaan, dan perkembangan mental serta pembelajaran yang terlibat bergerak maju dalam bentuk teratur, hierakis, atau progesif.
Teori behaviorisme menekankan peran aktif kekuatan eksternal dalam pertumbuhan, perkembangan dan pembelajaran anak. Setidaknya, teori ini bisa membawa praktik-praktik kesiapan mengenai hal-hal berikut :
• Turunkan kesiapan menjadi serangkaian keterampilan terpisah yang diajarkan lewat latihan berulang dan praktk yang disertai penguatan kembali yang sesuai.
• Latihan kesiapan sebagai proses yang berurutan, garis lurus, bertingkat-tingkat, akan mengabaikan konteks budaya di tempat anak-anak belajar.
• Manipulasi atau kendalikan anak-anak lewat jadwal penguatan eksternal, dengan mengajarkan merteka agar menaruh kepercayaan kepada orang lain yang akan membuat keputusan bagi mereka.
Pada puncaknya, teori behaviorisme tentang perkembangan bisa membawa praktik kesiapan mengalami hal-hal berikut:
• Efektif. Karena teori-teori itu meminta para guru membuat spesifikasi apa yang harus dipelajari anak-anak dan bagaimana memperlajarinya, maka teori itu sering membawa keberhasilan belajar (Gersten & Georg, 1990).
• Menyebabkan guru mampu mengungkapkan apa sasaran bagi anak-anak dan bagaimana mereka mencapai sasaran itu.
• Mengetahui peran penting lingkungan dan penguat eksternal bagi pembelajaran dan kesiapan anak-anak.
3. Teori Konstruktivis
Teori kognitif dari konstruktivis yang menyatakan perkembangan pikiran bukanlah hasil penguatan kematangan maupun penguatan eksternal dari lingkungan, melainkan berlangsung melalui rangkaian panjang pertukaran antara individu dan lingkungan, dianggap lebih berhasil dalam menjelaskan kesiapan belajar.
Teori-teori konstruktivitas tentang pembelajaran dan kesiapan belajar menempatkan tanggung jawab baik pada lingkungan maupun pada kematangan dan interaksi antara keduanya. Setidaknya, teori ini bisa membawa praktik kesiapan belajar yang melakukan hal-hal berikut:
• Menuntun orang sehingga memusatkan perhatian hanya pada pertumbuhan akal, dengan mengabaikan pertumbuhan fisik dan emosi.
• Menjadikan kesiapan tidak pasti atau tidak terencana.
• Beranggapan bahwa semua anak sama-sama tertarik dan termotivasi untuk membangun struktur bernalar baru.
Keadaan terbaiknya, teori konstruktivitaas tentang perkembangan menyebabkan praktik-praktik kesiapan belajar melakukan hal-hal berikut:
• Praktik kesiapan belajar berdasar pada pemahama tentang cara penyusunan pikiran anak-anak diwaktu tertentu.
• Menuntun para guru mendasarkan kesiapan belajar bukan pada apa yang bisa dilakukan anak-anak melainkan pada apa yang dapat dilakukan anak lewat bimbingan (Craig, 2003).
• Menghormati insan pembelajar.
4. PENDIDIKAN ANAK PRASEKOLAH
4.1 Definisi Pendidikan Anak Prasekolah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini yang tertulis pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya piker, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosioemosional (sikap, perilaku dan beragama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
4.2 Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini
Penyelenggaraan pendiidkan anak usia dini haruslah diselenggarakan pada berbagai landasan, yaitu landasan yuridis, landasan filosofis dan religius, serta landasan keilmuan.
1. Landasan Yuridis
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan bagian dari pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bermain dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa (1) Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal, (3) pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5) Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2. Landasan Filosofis dan Religi
Pendidikan dasar anak usia dini pada dasarnya harus berdasarkan pada nilai-nilai filosofis dan religi yang dipegang oleh lingkungan yang berada di sekitar anak dan agama yang dianutnya. Pendidikan agama menekankan pada pemahaman tentang agama serta bagaimana agama diamalkan dan diaplikasikan dalam tindakan serta perilaku dalam kehidupan seharu-hari. Penanaman nilai-nilai agama tersebut disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak serta keunikan yang dimiliki oleh setiap anak. Pendidikan anak usia dini juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh lingkungan di sekitarnya yang meliputi factor budaya, keindahan, kesenian, dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Landasan Keilmuan
Pendidikan anak usia dini pada dasarnya harus meliputi aspek keilmuan yang menunjang kehidupan anak dan terkait dengan perkembangan anak. Konsep keilmuan pendidikan anak usia dini bersifat isomorfis artinya kerangka keilmuan pendidikan anak usia dini dibangun dari interdisiplin ilmu yang merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu, di antaranya psikologi, fisiologi, sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan dan gizi serta neurosains. Berdasarkan aspek pedagogis, masa usia dini merupakan masa peletak dasar atau pondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Artinya masa kanak-kanak yang bahagia merupakan dasar bagi keberhasilan di masa datang dan sebaliknya. Untuk itu, agar pertumbuhan dan perkembangan tercapai secara optimal, maka dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif pada saat memberikan stimulus dan upaya-upaya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang berbeda satu dengan lainnya.
4.3 Kurikulum Anak Usia Dini
Berkaitan dengan istilah kurikulum bagi anak usia dini terdapat beberapa peristilahan sejenis yang mengandung makna yang cenderung hampir sama. Peristilahan yang dimaksud diantaranya adalah program kegiatan belajar bagi anak TK, menu pembelajaran anak usia dini, menu generic anak usia dini, dan stimulus perkembangan bagi anak usia dini. Kesemua peristilahan tersebut pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu berisi seperagkat kegiatan belajar melalui bermain yang dapat memberikan pengalaman langsung bagi anak dalam rangka mengembangkan seluruh potensi perkembangan yang dimiliki oleh setiap anak. Berhubungan dengan hal tersebut di atas, peristilahan pengembangan kurikulum adalah istilah yang paling sesuai dengan pengembangan program kegiatan bermain bagi anak usia dini. Dikarenakan istilah kurikulum terkesan sangat formal dan terstruktur, maka istilah kurikulum seringkali ditukarpakaikan dengan istilah program kegiatan bermain.
Albrecht dan Miller berpendapat bahwa dalam pengembangan program kegiatan bermain (kurikulum) bagi anak usia dini seharusnya sarat dengan aktivitas bermain yang mengutamakan adanya kebebasan bagi anak untuk bereksplorasi dan berkreativitas, sedangkan orang dewasa seharusnya lebih berperan sebagai fasilitator pada saat anak membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Bennett, Finn dan Cribb menjelaskan bahwa pada hakikatnya pengembangan kurikulum adalah pengembangan sejumlah pengalaman belajar melalui kegiatan bermain yang dapat memperkaya pengalaman anak tentang berbagai hal, seperti cara berpikir tentang diri sendiri, tanggap pada pertanyaan, dapat memberikan argumentasi untuk mencari berbagai alternative.
5. Taman kanak-kanak yang berpusat pada anak
pendidikan melibatkan seluruh anak dan mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif dan sosial anak. Pembelajaran diorganisasikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan gaya belajar anak. Penekanan adalah pada proses belajar dan bukan pada apa yang dipelajari.
Setiap anak mengikuti suatu pola perkembangan yang unik, dan anak-anak kecil paling baik belajar melalui pengalaman pertama menggunakan tangan atau langsung dengan manusia dan benda-benda.Bermain sangat penting dalam keseluruhan perkembangananak. Mencoba, menjelajahi, menemukan, menguji-coba, merestrukturasi berbicara dan mendengar ialah kata-kata yang menggambarkan program-program taman kanak-kanak yang bagus. Program-program seperti itu terkait dengan status perkembangan anak usia 4 dan 5 tahun. Program didasarkan atas suatu keadaan yang tengah berlangsung, bukanatassuatukeadaan yang akan terjadi.
6. Pendekatan Montessori
Pendekatan Montessori adalah suatu pendekatan mengenai pendidikan dimana anak-anak diberi kebebasan dan spontanitas untuk memilih kegiatan mereka dalam belajar. Mereka diperbolehkan untuk berpindah dari suatu metode belajar ke satu metode belajar lainnya yang mereka inginkan. Peran guru bertindak lebih sebagai fasilitator daripada seseorang yang memonitori keadaan kelas. Guru menunjukan anak-anak bagaimana caranya melakukan kegiatan intelektual, dan juga memperlihatkan cara yang menarik untuk mengembangkan materi-materi kurikulum dan menawarkan bantuan apabila si anak memintanya.
metode Montessori bertujuan sebagai pengantar prinsip, agar anak-anak mereka dapat memasuki kesenjangan pendidikan yang lebihtinggi dengan persiapan yang matang. Pendidikan ini dimulai dari masa prasekolah, menurut Montessori, anak harus belajar atas kemauannya sendiri, tidak dengan dipaksa. Salah satu cara yang mudah untuk membuat anak menyukai belajar adalah dengan cara membuat anak belajar sambil bermain karena anak-anak sangatmenyukai permainan. Oleh karena itu, sebagai orang tua dan pendidik harus kreatif dalam memasukkan pelajaran dalam permainan anak-anak.
Keuntungan anak pra sekolah sebelum memasuki masa sekolah formal :
Lebih berkompeten dan dewasa secara social dalam arti mereka lebih percaya diri, mandiri, mengekspresi kan diri secara verbal, mengetahui dunia sosial, bias menyesuaikan diri dengan dunia social dengan lebih baik ketika mereka masuk sekolah (memperlihatkan ketekunan dalam menyelesaikan tugas, kepemimpinan, dan arah tujuan)
Langganan:
Postingan (Atom)