Kamis, 19 Juni 2014
PENDIDIKAN ANAK PRASEKOLAH: KESIAPAN SEKOLAH
2.1 Definisi Anak Prasekolah
Anak prasekolah atau anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya, yang berada pada retang usia 0-8 tahun.
2.2 Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
Catron dan Allen menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek perkembangan anak usia dini, yaitu kesadaran personal, kesehatan emosional, sosialisasi, komunikasi, kognisi dan keterampilan motorik sangat penting dan harus dipertimbangkan sebagai fungsi interaksi.
1. Kesadaran Personal
Permainan yang kreatif memungkinkan perkembangan kesadaran personal. Bermain mendukung anak untuk tumbuh secara mandiri dan memiliki kontrol atas lingkungannya. Melalui bermain anak dapat menemukan hal yang baru, bereksplorasi, meniru, dan mempraktikan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah langkah dalam membangun keterampilan menolong dirinya sendiri, keterampilan ini membuat anak merasa kompeten.
2. Pengembangan Emosional
Melalui bermain anak dapat belajar menerima, berekspresi dan mengatasi masalah dengan cara yang positif. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal diri mereka sendiri dan untuk mengembangkan pola perilaku yang memuaskan dalam hidup.
3. Membangun Sosialisasi
Bermain memberikan jalan bagi perkembangan sosial anak ketika berbagi dengan anak lain. Bermain adalah sarana yang paling utama bagi pengembangan kemampuan bersosialisasi dan memperluas empati terhadap orang lain serta mengurangi sikap egosentrisme. Bermain dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa sosialisasi anak. Melalui bermain anak dapat belajar perilaku prososial seperti menunggu giliran, kerja sama, saling membantu dan berbagi.
4. Pengembangan Komunikasi
Bermain merupakan alat yang paling kuat untuk pengembangan kemampuan berbahasa anak. Melalui komunikasi inilah anak dapat memperluas kosakata dan mengembangkan daya penerimaan serta pengekspresian kemampuan berbahasa mereka melalui interaksi dengan anak-anak lain dan orang dewasa pada situasi bermain spontan. Secara spesifik, bermain dapat memajukan perkembangan dari segi komunikasi berikut ini: (1) bahasa reseptif, yaitu mengikuti petunjuk-petunjuk dan memahami konsep dasar, (2) bahasa ekspresif, yaitu kebutuhan mengekspresikan keinginan, perasaan, penggunaan kata-kata, frase-frase, kalimat, dan berbicara secara jelas, (3) komunikasi nonverbal, yaitu pengguanaan komunikasi kongruen, ekspresi muka, isyarat tubuh, isyarat tangan, dan (4) memori pendengaran/ pembedaan, yaitu memahami bahasa bicara dan membedakan bunyi.
5. Pengembangan Kognitif
Bermain dapat memenuhi kebutuhan anak untuk secara aktif terlibat dengan lingkungan, untuk bermain dan bekerja dalam menghasilkan suatu karya, serta untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan kognitif lainnya. Selama bermain, anak menerima pengalaman baru, memanipulasi bahan dan alat, berinteraksi dengan orang lain dan mulai merasakan dunia mereka. Bermain menyediakan kerangka kerja untuk anak untuk mengembangkan pemahaman tentang diri mereka sendiri, orang lain dan lingkungan.
6. Pengembangan Kemampuan Motorik
Kesempatan yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar untuk menemukan aktivitas sensori motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan anak untuk memenuhi perkembangan perceptual motorik.
2.3 Pola Perkembangan Anak
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan hal penting dalam rentang kehidupan anak. Anak memerlukan waktu yang cukup untuk aktivitas secara fisik. merupakan hal yang penting pada masa prasekolah dan sekolah dasar pada kelas awal di mana anak memiliki waktu yang cukup untuk beraktifitas secara fisik. Para guru dan orangtua dari anak-anak kecil harus berpikir secara hati-hati ketika sedang merencanakan kegiatan-kegiatan bagi anak-anak kecil. Sebagai contoh, menulis pada garis memerlukan kendali motorik halus yang benar-benar baik, dan kebanyakan dari anak-anak yang berusia lima dan enam tahun belum dapat melakukan kegiatan ini dengan baik, tanpa adanya kesukaran yang pantas untuk dipertimbangkan. Anak-anak yang ikut serta dalam beberapa kegiatan olahraga seperti sepak bola, ketika mereka masih muda mungkin saja akan mengalami kesulitan yang sama. Beberapa orangtua dan pelatih mengharapkan adanya suatu koordinasi bagi anak-anak yang berusia lima sampai dengan delapan tahun. Jika anak-anak mengambil bagian dalam suatu aktivitas yang terorganisir, maka orangtua dan pelatih perlu menyadari akan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut dan untuk menyamakan harapan mereka sebagai orangtua dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.
2. Perkembangan Sosial
Para guru pada umumnya tidak merencanakan aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan perkembangan sosial; sebagai gantinya mereka memikirkan perkembangan sosial sebagai salah satu bentuk dari keikutsertaan anak, dalam suatu kegiatan kelas yang bervariasi. Para guru yang ingin membantu anak untuk berkembang secara sosial dengan baik akan menyadari kemampuan sosial anak-anak dan mengambil keuntungan dari kegiatan kelas yang rutin bagi perkembangan mereka yang lebih lanjut. Aktivitas seharusnya dapat mendorong anak-anak untuk dapat saling bekerja sama, mengembangkan konsep diri mereka, dan untuk memperoleh keterampilan dalam interaksi dengan anak-anak yang lain.
3. Perkembangan Emosional
Pertumbuhan emosional dapat didukung melalui jenis kelas yang memiliki ciri khas belajar berdasarkan pengalaman, jika guru menyadari tahapan perkembangan yang sedang dilalui oleh anak dan juga hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan. Bagi anak yang berada di bangku Taman Kanak-kanak dan kelas satu, sudah dapat menyatakan dan melabelkan suatu emosi yang luas. Mereka dapat menguraikan rasa sedih yang mereka alami, rasa marah, atau perasaan senang dan juga menguraikan suatu situasi yang merupakan emosi yang dihasilkan oleh anak-anak yang lain. Anak-anak ini mejadi lebih mampu dalam mengendalikan perasaan agresif mereka dan, dengan beberapa bimbingan, dapat belajar untuk mengeluarkan rasa frustasi mereka kepada anak-anak lain dengan menggunakan kata-kata dibanding dan bukan dengan memukul. Anak yang berusia lima dan enam juga sudah mulai untuk mengembangkan suara hati dan suatu perasaan tentang benar atau salah.
4. Perkembangan Intelektual
Perkembangan kognitif mengacu pada perkembangan anak dalam berpikir dan kemampuan untuk memberikan alas an. Malkus, Feldman, dan Gardner dalam Catron dan Allen menggambarkan perkembangan kognitif sebagai “… kapasitas untuk bertumbuh untuk menyampaikan dan meghargai maksud dalam penggunaan beberapa system symbol yang secara kebetulan ditonjolkan dalam suatu bentuk pengaturan”. Sistem symbol ini meliputi kata-kata, gambaran, isyarat, dan angka-angka. Anak-anak yang berada pada tahapan sensorimotor memerlukan pengalaman yang berkaitan dengan sentuhan, rasa, dan juga penyelidikan. Dunia anak terorganisir lewat beberapa cara yaitu visual, taktil, dan kinestetik. Anak-anak kecil belajar pada suatu tingkat yang cepat dan juga disertai dengan tantangan dalam tujuannya untuk membangun kekuatan belajar mereka pada tahap praoperasional secara diam-diam, misalnya mengembangkan aspek bahasa mereka dengan cepat dan juga kemampuan mereka untuk mengelompokan dan mengurutka, serta untuk menghindari aktivitas yang megajak mereka untuk memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan untuk mengemukakan sebuah alas an secara abstrak.
3. KESIAPAN SEKOLAH
3.1 Definisi Kesiapan Sekolah
Kesiapan merupakan fakta. Tidak diragukan lagi bahwa beberapa jenis pembelajaran akan lebih mudah dan lebih siap pada usia tertentu daripada usia lain, atau lama belajar sebelumnya turut menentukan berlangsungnya lama belajar baru.
Kesiapan didefinisikan sebagai tersiapnya dan terbekali-siap melakukan, langsung bertindak, atau menggunakan sesuatu. Pengertian kesiapan bersekolah dinyatakan oleh Fitzgeald dan Strommen (1972) sebagai kemampuan anak mencapai tingkat perkembangan emosi, fisik, dan kognisi yang memadai sehingga anak mampu atau berhasil dengan baik secara akademik. Jadi, kesiapan bersekolah adalah kemampuan yang sudah dimiliki anak untuk dapat mengikuti pelajaran disekolah dasar dengan baik.
3.2 Teori Kesiapan Belajar
Tiga teori sangat berbeda yang menjelaskan kesiapan telah memengaruhi pemikiran kita tentang kesiapan. Tiga teori besar yang biasanya menjelaskan kesiapan adalah teori maturationalist, behaviorist, dan constructivist.
1. Teori Maturasional
G. Stanley Hall (1844-1929) dan Arnold Gessel (1880-1961) mengemukakan teori formal maturasional. Teori maturasional beranggapan bahwa pertumbuhan bergerak maju lewat serangkaian tahap yang tidak berubah, setiap tahap dicirikan oleh struktur organism yang berbeda secara kualitatif dan pola interaksi yang berbeda secara kuantitatif antara organism dan lingkungannya. Pertumbuhan dan pembelajaran, menurut teori kematangan, dikarenakan adanya mekanisme fisiologi internal dan pertumbuhan mereka yang teratur dan berurutan ketimbang faktor lingkungan.
Teori maturasional bisa menghasilkan praktik kesiapan yang melakukan hal-hal berikut :
• Memakai patok duga yang kaku mengenai pertumbuhan dan perkembangan normal untuk menentukan apakah anak-anak siap.
• Mengacaukan antara apa yang dilakuka anak-abnak dan hasil akhir pendidikan. Patok duga perkembangan manusia dijadikan kurikulum.
• Memeberi pesan pasif kepada para guru.
• Mengabaikan peran lingkuangan dan pembinaan pada pertumbuhan, perkembangan, dan pembelajaran manusia.
Sebaliknya, teori maturasional bisa sangat berguna untuk memahami kesiapan karena hal-hal berikut:
• Menerima pandangan bahwa belajar merupakan kegiatan biologis yang normal. Anak-anak tidak perlu dipujuk, diajak, dipaksa, dimanipulasi, atau diakali supaya mereka belajar.
• Anak-anak sesungguhnya bertumbuh lewat cara yang dapat diramalkan. Kendati demikian, ada variasi lluas dlam pertumbuhan dan perkembangan anak, hal-hal yang universal dari perkembangan manusia tidak bisa diingkari.
• Pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan member pedoman mengenai praktik. Praktik kurikulum yang tidak berdasarkan pengetahuan tentang kematangan bisa gagal.
2. Teori Behaviorisme
Berbagai teori behaviorisme tentang kesiapan dan pembelajaran bertentangan secara diametris dengan teori maturasional. Jika teori maturasional beranggapan bahwa kesiapan dan pembelajaran itu terbentuk lebih dahulu di dalam diri individu, maka teori behaviorisme menganut pendapat bahwa kesiapan dan pembelajaran itu diletakkan pada individu dari luar.
Teori behaviorisme percaya bahwa semua pengetahuan berasal dari kesan indra, baik sebagai salinan langsung dari kesan indra (gagasan sederhana) atau sebagai kombinasi dari beberapa gagasan sederhana atau rumit. Manusia, seperti halnya semua mamalia, memiliki struktur netral bagi pembentukan asosiasi antara masukan (input) dan keluaran (output) indra. Ini berate bahwa semua manusia mempunyai kemampuan memperoleh hubungan stimulus-respons atau kebiasaan, dan perkembangan mental serta pembelajaran yang terlibat bergerak maju dalam bentuk teratur, hierakis, atau progesif.
Teori behaviorisme menekankan peran aktif kekuatan eksternal dalam pertumbuhan, perkembangan dan pembelajaran anak. Setidaknya, teori ini bisa membawa praktik-praktik kesiapan mengenai hal-hal berikut :
• Turunkan kesiapan menjadi serangkaian keterampilan terpisah yang diajarkan lewat latihan berulang dan praktk yang disertai penguatan kembali yang sesuai.
• Latihan kesiapan sebagai proses yang berurutan, garis lurus, bertingkat-tingkat, akan mengabaikan konteks budaya di tempat anak-anak belajar.
• Manipulasi atau kendalikan anak-anak lewat jadwal penguatan eksternal, dengan mengajarkan merteka agar menaruh kepercayaan kepada orang lain yang akan membuat keputusan bagi mereka.
Pada puncaknya, teori behaviorisme tentang perkembangan bisa membawa praktik kesiapan mengalami hal-hal berikut:
• Efektif. Karena teori-teori itu meminta para guru membuat spesifikasi apa yang harus dipelajari anak-anak dan bagaimana memperlajarinya, maka teori itu sering membawa keberhasilan belajar (Gersten & Georg, 1990).
• Menyebabkan guru mampu mengungkapkan apa sasaran bagi anak-anak dan bagaimana mereka mencapai sasaran itu.
• Mengetahui peran penting lingkungan dan penguat eksternal bagi pembelajaran dan kesiapan anak-anak.
3. Teori Konstruktivis
Teori kognitif dari konstruktivis yang menyatakan perkembangan pikiran bukanlah hasil penguatan kematangan maupun penguatan eksternal dari lingkungan, melainkan berlangsung melalui rangkaian panjang pertukaran antara individu dan lingkungan, dianggap lebih berhasil dalam menjelaskan kesiapan belajar.
Teori-teori konstruktivitas tentang pembelajaran dan kesiapan belajar menempatkan tanggung jawab baik pada lingkungan maupun pada kematangan dan interaksi antara keduanya. Setidaknya, teori ini bisa membawa praktik kesiapan belajar yang melakukan hal-hal berikut:
• Menuntun orang sehingga memusatkan perhatian hanya pada pertumbuhan akal, dengan mengabaikan pertumbuhan fisik dan emosi.
• Menjadikan kesiapan tidak pasti atau tidak terencana.
• Beranggapan bahwa semua anak sama-sama tertarik dan termotivasi untuk membangun struktur bernalar baru.
Keadaan terbaiknya, teori konstruktivitaas tentang perkembangan menyebabkan praktik-praktik kesiapan belajar melakukan hal-hal berikut:
• Praktik kesiapan belajar berdasar pada pemahama tentang cara penyusunan pikiran anak-anak diwaktu tertentu.
• Menuntun para guru mendasarkan kesiapan belajar bukan pada apa yang bisa dilakukan anak-anak melainkan pada apa yang dapat dilakukan anak lewat bimbingan (Craig, 2003).
• Menghormati insan pembelajar.
4. PENDIDIKAN ANAK PRASEKOLAH
4.1 Definisi Pendidikan Anak Prasekolah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini yang tertulis pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya piker, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosioemosional (sikap, perilaku dan beragama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
4.2 Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini
Penyelenggaraan pendiidkan anak usia dini haruslah diselenggarakan pada berbagai landasan, yaitu landasan yuridis, landasan filosofis dan religius, serta landasan keilmuan.
1. Landasan Yuridis
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan bagian dari pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bermain dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa (1) Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal, (3) pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5) Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2. Landasan Filosofis dan Religi
Pendidikan dasar anak usia dini pada dasarnya harus berdasarkan pada nilai-nilai filosofis dan religi yang dipegang oleh lingkungan yang berada di sekitar anak dan agama yang dianutnya. Pendidikan agama menekankan pada pemahaman tentang agama serta bagaimana agama diamalkan dan diaplikasikan dalam tindakan serta perilaku dalam kehidupan seharu-hari. Penanaman nilai-nilai agama tersebut disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak serta keunikan yang dimiliki oleh setiap anak. Pendidikan anak usia dini juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh lingkungan di sekitarnya yang meliputi factor budaya, keindahan, kesenian, dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Landasan Keilmuan
Pendidikan anak usia dini pada dasarnya harus meliputi aspek keilmuan yang menunjang kehidupan anak dan terkait dengan perkembangan anak. Konsep keilmuan pendidikan anak usia dini bersifat isomorfis artinya kerangka keilmuan pendidikan anak usia dini dibangun dari interdisiplin ilmu yang merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu, di antaranya psikologi, fisiologi, sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan dan gizi serta neurosains. Berdasarkan aspek pedagogis, masa usia dini merupakan masa peletak dasar atau pondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Artinya masa kanak-kanak yang bahagia merupakan dasar bagi keberhasilan di masa datang dan sebaliknya. Untuk itu, agar pertumbuhan dan perkembangan tercapai secara optimal, maka dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif pada saat memberikan stimulus dan upaya-upaya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang berbeda satu dengan lainnya.
4.3 Kurikulum Anak Usia Dini
Berkaitan dengan istilah kurikulum bagi anak usia dini terdapat beberapa peristilahan sejenis yang mengandung makna yang cenderung hampir sama. Peristilahan yang dimaksud diantaranya adalah program kegiatan belajar bagi anak TK, menu pembelajaran anak usia dini, menu generic anak usia dini, dan stimulus perkembangan bagi anak usia dini. Kesemua peristilahan tersebut pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu berisi seperagkat kegiatan belajar melalui bermain yang dapat memberikan pengalaman langsung bagi anak dalam rangka mengembangkan seluruh potensi perkembangan yang dimiliki oleh setiap anak. Berhubungan dengan hal tersebut di atas, peristilahan pengembangan kurikulum adalah istilah yang paling sesuai dengan pengembangan program kegiatan bermain bagi anak usia dini. Dikarenakan istilah kurikulum terkesan sangat formal dan terstruktur, maka istilah kurikulum seringkali ditukarpakaikan dengan istilah program kegiatan bermain.
Albrecht dan Miller berpendapat bahwa dalam pengembangan program kegiatan bermain (kurikulum) bagi anak usia dini seharusnya sarat dengan aktivitas bermain yang mengutamakan adanya kebebasan bagi anak untuk bereksplorasi dan berkreativitas, sedangkan orang dewasa seharusnya lebih berperan sebagai fasilitator pada saat anak membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Bennett, Finn dan Cribb menjelaskan bahwa pada hakikatnya pengembangan kurikulum adalah pengembangan sejumlah pengalaman belajar melalui kegiatan bermain yang dapat memperkaya pengalaman anak tentang berbagai hal, seperti cara berpikir tentang diri sendiri, tanggap pada pertanyaan, dapat memberikan argumentasi untuk mencari berbagai alternative.
5. Taman kanak-kanak yang berpusat pada anak
pendidikan melibatkan seluruh anak dan mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif dan sosial anak. Pembelajaran diorganisasikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan gaya belajar anak. Penekanan adalah pada proses belajar dan bukan pada apa yang dipelajari.
Setiap anak mengikuti suatu pola perkembangan yang unik, dan anak-anak kecil paling baik belajar melalui pengalaman pertama menggunakan tangan atau langsung dengan manusia dan benda-benda.Bermain sangat penting dalam keseluruhan perkembangananak. Mencoba, menjelajahi, menemukan, menguji-coba, merestrukturasi berbicara dan mendengar ialah kata-kata yang menggambarkan program-program taman kanak-kanak yang bagus. Program-program seperti itu terkait dengan status perkembangan anak usia 4 dan 5 tahun. Program didasarkan atas suatu keadaan yang tengah berlangsung, bukanatassuatukeadaan yang akan terjadi.
6. Pendekatan Montessori
Pendekatan Montessori adalah suatu pendekatan mengenai pendidikan dimana anak-anak diberi kebebasan dan spontanitas untuk memilih kegiatan mereka dalam belajar. Mereka diperbolehkan untuk berpindah dari suatu metode belajar ke satu metode belajar lainnya yang mereka inginkan. Peran guru bertindak lebih sebagai fasilitator daripada seseorang yang memonitori keadaan kelas. Guru menunjukan anak-anak bagaimana caranya melakukan kegiatan intelektual, dan juga memperlihatkan cara yang menarik untuk mengembangkan materi-materi kurikulum dan menawarkan bantuan apabila si anak memintanya.
metode Montessori bertujuan sebagai pengantar prinsip, agar anak-anak mereka dapat memasuki kesenjangan pendidikan yang lebihtinggi dengan persiapan yang matang. Pendidikan ini dimulai dari masa prasekolah, menurut Montessori, anak harus belajar atas kemauannya sendiri, tidak dengan dipaksa. Salah satu cara yang mudah untuk membuat anak menyukai belajar adalah dengan cara membuat anak belajar sambil bermain karena anak-anak sangatmenyukai permainan. Oleh karena itu, sebagai orang tua dan pendidik harus kreatif dalam memasukkan pelajaran dalam permainan anak-anak.
Keuntungan anak pra sekolah sebelum memasuki masa sekolah formal :
Lebih berkompeten dan dewasa secara social dalam arti mereka lebih percaya diri, mandiri, mengekspresi kan diri secara verbal, mengetahui dunia sosial, bias menyesuaikan diri dengan dunia social dengan lebih baik ketika mereka masuk sekolah (memperlihatkan ketekunan dalam menyelesaikan tugas, kepemimpinan, dan arah tujuan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar